Rabu, 20 Januari 2010

Kufur Asghar??! - Membongkar Kedok Salafi Murjiah

oleh : Syaikh Abdul Qadir bin Abdul Aziz

Syubhat Pertama :

Kufur Asghar

Dalam kasetnya yang berjudul “ Min Manhajil Khawarij “ (Manhaj Khawarij). yang direkam pada tanggal 29 Jumadil Akhirah 1416 H bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1995 M, dengan nomor 1/830 dari nomor berseri “Silsilatu Al Huda wa An Nuur”, syaikh Nashirudin Al Albani menyerang mujahidin yang berjihad melawan para penguasa sekuler. Beliau menyatakan kekafiran para penguasa sekuler tersebut adalah kafir asghar, dengan dasar atsar shahabat Ibnu Abbas dan beberapa ulama tentang kufrun duna kufrin (tafsir QS. Al Maidah :44.45,47). Beliau menuduh mujahidin sebagai Khawarij yang mentakwil ayat-ayat tersebut dengan takwilan batil yang menyelisihi tafsiran kaum salaf terdahulu, bahkan menyelisihi ulama tafsir, fiqih dan hadits setelah generasi salafu sholih. Menurut beliau, dengan penyelisihan ini, mujahidin telah menyelisihi firqah najiyah dan tidak termasuk firqah najiyah.
Sikap syaikh ini juga diikuti banyak lain, yang menyatakan kekufuran para penguasa sekuler negeri-negeri kaum muslimin hari ini sekedar kufur asghar.


Jawaban atas Syubhat :

[1]- Kalaulah syaikh Nashirudin Al Albani dan para ulama lain menyatakan penguasa negeri-negeri ini tidak kafir dengan alasan menetapkan hukum positif dan menjalankan hukum positif yang menihilkan syariah Islam sekedar kufur asghar ---berdasar kepada atsar Ibnu Abbas ini dan atsar beberapa murid beliau---, maka kalaulah pendapat ini diterima, vonis kafir dan murtad tetap mengenai para penguasa tersebut karena kekafiran mereka tidak hanya karena menjalankan atau menetapkan hukum positif semata melainkan selain itu adalah:

Nasionalisme ; semua ulama sepakat menyatakannya sebagai kafir akbar.
Demokrasi ; adalah kafir akbar.
Menyatakan hukum positif mereka lebih baik dari hukum Allah Ta’ala dan lebih sesuai dengan perkembangan zaman ; adalah kafir akbar.
Menganggap huku positif mereka sama baik dengan hukum Allah Ta’ala : adalah kafir akbar.
Menegakkan perngadilan-pengadilan hukum positif adalah kafir akbar.
Meyakini mereka tidak wajib menerapkan hukum Allah Ta’ala, mereka bebas hendak menerapkan hukum positif atau hukum Allah Ta’ala : adalah kafir akbar.
Sekulerisme adalah kafir akbar.
Membantu musuh-musuh Islam dalam memerangi umat Islam adalah kafir akbar.

Maka, alasan kufur asghar tidak bisa menggugurkan status hukum kafir dan murtad para penguasa tersebut, karena kekafiran mereka sangat parah dan karena banyak alasan.

[2]- Status keshahihan atsar Ibnu Abbas rhadiyallahu anhu.
Ada beberapa atsar dari Ibnu Abbas mengenai ayat ini, sebagiannya memvonis kafir secara mutlaq atas orang yang berhukum dengan selain hukum Allah, sementara sebagian atsar lainnya tidak menyebutkan demikian. Karena itu, dalam menafsirkan ayat tersebut ada penjelasan rinci yang sudah terkenal.

* Imam Waki’ meriwayatkan dalam Akhbarul Qudhah 1/41,” Menceritakan kepada kami Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani ia berkata, telah menceritakan kepada kami Abdu Razaq dari Ma’mar dari Ibnu Thawus dari bapaknya ia berkata,” Ibnu Abbas telah ditanya mengenai firman Allah,” [Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir]. “
Beliau menjawab,” Cukuplah hal itu menjadikannya kafir.”

Sanad atsar ini shahih sampai kepada Ibnu Abbas, para perawinya adalah perawi Ash Shahih selain gurunya Waki’, yaitu Hasan bin Abi Rabi’ al Jurjani, ia adalah Ibnu Ja’d al ‘Abdi. Ibnu Abi Hatim mengatakan perihal dirinya,” Aku telah mendengar darinya bersama ayahku, ia seorang shaduq.” Ibnu Hiban menyebutkannya dalam Ats Tsiqat.1 Dalam At Taqrib 1/505 Al Hafidz mengomentarinya,” Shaduq.”

Dengan sanad imam Waki’ pula imam Ath Thabari (12055) meriwayatkannya, namun dengan lafal,” Dengan hal itu ia telah kafir.” Ibnu Thawus berkata,” Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya.” Riwayat ini secara tegas menerangkan bahwa Ibnu Abbas telah memvonis kafir orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa merincinya, sementara tambahan “Dan bukan seperti orang yang kafir dengan Allah, malaikat dan kitab-kitab-Nya ” bukanlah pendapat Ibnu Abbas, melainkan pendapat Ibnu Thawus.2

* Memang benar, ada tambahan yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat yang lain, yaitu riwayat Ibnu Jarir Ath Thabari (12053) menceritakan kepada kami Waki’, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki’ ia berkata telah menceritakan kepada kami ayahku dari Sufyan dari Ma’mar bin Rasyid dari Ibnu Thawus, dari ayahnya dari Ibnu Abbas,” [Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir].

Ibnu Abbas berkata,” Dengan hal itu ia telah kafir, dan bukan kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya.”3

Sanad atsar ini juga shahih, para perawinya adalah para perawi kutubus sitah selain Hanad dan Ibnu Waki’. Hanad adalah Hanad bin Sariy bin Mush’ab As Sariy al Hafidz Al qudwah, para ulama meriwayatkan darinya kecuali imam Bukhari.4 Adapun Ibnu Waki’ adalah Sufyan bin Waki’ bin Jarrah. Imam Ibnu Hibban dan juga Al Hafidz berkata,” Ia seorang shaduq hanya saja ia mengambil hadits yang bukan riwayatnya, maka haditsnya dimasuki oleh hadits yang bukan ia riwayatkan. Ia telah dinasehati, namun ia tidak menerima nasehat tersebut sehingga gugurlah haditsnya.”5

Hanya saja ini tidak membahayakan, karena Hanad telah menguatkannya.
Kesimpulannya, tambahan ini dinisbahkan kepada Thawus dalam riwayat Abdu Razaq dan dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam riwayat Sufyan Ats Tsauri. Akibatnya ada kemungkinan ini bukanlah perkataan Ibnu Abbas, tetapi sekedar selipan dalam riwayat Sufyan. Ini bisa saja terjadi, terlebih Waki’ dalam Akhbarul Qudhat telah meriwayatkan atsar ini tanpa tambahan. Namun demikian hal inipun belum pasti. Boleh jadi, tambahan ini memang ada dan berasal dari Thawus dan Ibnu Abbas sekaligus, dan inilah yang lebih kuat. Wallahu A’lam.

* Al Hakim dalam Al Mustadrak 2/313 telah meriwayatkan dari Hisyam bin Hujair dari Thawus ia berkata,” Ibnu Abbas berkata,” Bukan kufur yang mereka (Khawarij) maksudkan. Ia bukanlah kekufuran yang mengeluarkan dari milah.
[Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir] ; Maksudnya adalah kufur duna kufrin.”

Al Hakim mengatakan,” Ini adalah hadits yang sanadnya shahih.” Atsar ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim6 dari Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah,” [Dan barang siapa tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir]
Beliau berkata,” Bukan kekufuran yang mereka maksudkan.”

Hisyam bin Hujair seorang perawi yang masih diperbincangkan. Ia dilemahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan lain-lain.7 Ibnu ‘Ady menyebutkannya dalam Al Kamil fi Dhu’afai Rijal 7/2569. Demikian juga oleh Al ‘Uqaily dalam Al Dhu’afa al Kabir 4/238.

Tidak ada yang mentsiqahkannya selain ulama yang terlalu mudah mentsiqahkan seperti Al ‘Ijli dan Ibnu Sa’ad. Imam Bukhari dan muslim meriwayatkan darinya secara mutaba’ah, buan secara berdiri sendiri. Imam Bukhari tidak meriwayatkan darinya kecuali haditsnya dari Thawus dari Abu Hurairah (6720) tentang kisah sulaiman dan perkataannya,“ Saya akan mendatangi 90 istriku pada malam hari ini…” Beliau telah meriwayatkannya dengan nomor (5224) dengan mutaba’ah Ibnu Thawus dari ayahnya dari Abu Hurairah.

Adapun imam Muslim, beliau meriwayatkan darinya dua hadits. Pertama hadits Abu Hurairah di atas dengan nomor 1654 juga secara mutaba’ah dari Ibnu Thawus dari bapaknya pada tempat yang sama. Hadits yang kedua adalah hadits Ibnu abbas,” Mu’awiyah berkata kepadaku,” Saya diberi tahu bahwa saya memendekkan rambut Rasulullah di Marwah dengan gunting…” Beliau meriwayatkan dengan nomor 1246 dari sanad Hisyam bin Hujair dari Thawus dari Ibnu Abbas. Sanad ini mempunyai mutaba’ah dalam tempat yang sama dari sanad Hasan bin Muslim dari Thawus. Abu Hatim berkata,” Haditsnya ditulis.”8 Maksudnya dilihat terlebih dulu apakah ada mutaba’ahnya sehingga haditsnya bisa diterima, atau tidak ada mutaba’ah sehingga ditolak ?
Syaikh Abu Isra’ Al Asyuthi mengatakan,” Hadits ini di antara hadits-hadits yang setahu kami tidak ada mutaba’ahya. Dalam diri saya ada keraguan tentang keshahihannya meskipun dishahihkan oleh Al Hakim, karena ia terkenal terlalu memudahkan dalam menshahihkan hadits, semoga Allah merahmati beliau.”9

* Ibnu Jarir (12063) meriwayatkan dari sanad Ali bin Abi Thalhah dari Ibnu Abbas, ia bekata,”Jika ia juhud (ingkar) terhadap apa yang diturunkan Allah maka ia telah kafir, dan barang siapa mengakuinya namun tidak berhukum dengannya maka ia adalah dholim dan fasiq.”10

Sanad ini munqathi’ (terputus) karena Ali bin Abi Thalhah belum mendengar dari Ibnu Abbas sebagaiamana ia juga masih diperbincangkan11. Dalam sanad ini juga terdapat rawi bernama Abdullah bi Sholih sekretaris Al Laits, ia diperselisihkan namun sebagian besar ulama melemahkannya.

Syaikh Abu Isra’ Al Asyuthi mengatakan,” dengan demikian apa yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ditinjau dari segi sanadnya ada yang shahih dan ada yang tidak shahih. Sanad yang shahih ; sebagian mengandung pengkafiran secara mutlaq terhadap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah tanpa merincinya, sementara sebagian lain mengandung tambahan ” dan bukan seperti orang yang kafir kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya”, meskipun tambahan ini juga merupakan perkataan Ibnu Thawus sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Dengan demikian, pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas tak kosong dari kritikan ; antara diterima dan ditolak. Dengan demikian, kalau ada seorang muslim yang berpegangan dengan riwayat Ibnu Abbas yang telah pasti tentang kafirnya orang yang berhukum dengan selain hukum Allah secara mutlaq maka dengan alasannya tersebut ia tidak melakukan suatu kesalahan. Demikian kami katakan, meskipun kami cenderung menetapkan tambahan tadi dari Ibnu Abbas sebagaimana telah kami sebutkan.12

[3]- Atsar Ibnu Abbas rhadiyallahu anhu bukan satu-satunya pendapat ulama salaf.
Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani menganggap atsar shahabat Ibnu Abbas rhadiyallahu anhu sebagai satu-satunya pendapat ulama salaf dalam menafsirkan surat Al Maidah :44,45,47, sehingga beliau menuduh pihak-pihak yang mengkafirkan para penguasa negeri-negeri kaum muslimin hari ini melakukan takwil yang tidak berdasar, takwilan baru yang tidak dikenal generasi salaf dan orang-orang yang mentakwil ini telah keluar dari ahlu sunah wal jama’ah, tidak termasuk firqah najiyah.

* Imam Ibnu Jarir telah meriwayatkan dalam tafsirnya (12061) : menceritakan kepadaku Ya’qub bin Ibrahim ia berkata menceritakan kepadaku Husyaim ia berkata memberitakan kepadaku Abdul Malik bin Abi Sulaiman dari Salamah bin Kuhail dari Alqamah dan Masruq bahwa keduanya bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang uang suap, maka beliau menjawab,” Harta haram.” Keduanya bertanya,” Bagaimana jika oleh penguasa?” Beliau menjawab,” Itu sebuah kekafiran.” Kemudian beliau membaca ayat ini:
” Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”13
Atsar ini sanadnya shahih sampai Ibnu Mas’ud, para perawinya tsiqah para perawi kutubus sitah.

* Abu Ya’la dalam musnadnya (5266) meriwayatkan dari Masruq,” Saya duduk di hadapan Abdullah Ibnu Mas’ud, tiba-tiba seorang laki-laki bertanya,” Apakah harta haram itu ?” Beliau menjawab,” Uang suap.” Laki-laki tersebut bertanya lagi,”Bagaimana kalau dalam masalah hukum ?.” Beliau menjawab,” Itu adalah kekufuran.” kemudian beliau membaca ayat [Dan barang siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang kafir].”

Atsar ini juga diriwayatkan oleh Al Baihaqi 10/139, Imam Waki’ dalam Akhbarul Qudhat 1/52, dan disebutkan Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al Mathalibu Al ‘Aliyah 2/250, beliau menisbahkannya kepada Al Musaddad. Syaikh Habibur Rahman Al A‘dzami menukil perkataan imam Al Bushairi dalam komentar beliau atas kitab Al Mathalibu Al ‘Aliyah,” Diriwayatkan oleh Al Musaddad , Abu Ya’la dan Ath Thabrani secara mauquf dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Al Hakim dan Baihaqi dari sanad ini…”

Atsar ini juga disebutkan oleh Imam Al Haitsami Beliau berkata,”Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, sementara guru Abu Ya’la ; Muhammad bin Utsman tidak saya ketahui.”14 Syaikh Habibur Rahman Al A‘dzami dalam komentarnya atas kitab Al Mathalibu Al ‘Aliyah 2/250 berkata sebagai jawaban atas pernyataan imam Al Haitsami,” Jika ia tidak mengetahui Muhammad bin Utsman maka tidak berbahaya, karena Fitha gurunya memiliki mutaba’ah dari Syu’bah dalam riwayat Al Hakim dan Al Baihaqi, sementara Muhammad bin Utsman mempunyai mutaba’ah dari Maki bin Ibrahim dalam riwayat Al Baihaqi…”

Syaikh Abu Isra’ Al Asyuthi mengatakan,” Ini kalau dianggap shahih riwayat Abu Ya’la dari perkataan Abu Ya’la,” Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ustman dari Umar,” kalau tidak maka syaikh Al A’dzami telah menyebutkan dalam tempat yang sama bahwa riwayat yang bersambung adalah telah menceritakan kepadaku Muhammad telah menceritakan kepadaku Utsman bin Umar.” Muhaqiq Musnad Abu Ya’la telah tegas menyatakan bahwa yang benar adalah Muhammad dari Utsman bin Umar. Adapun yang ada dalam musnad adalah penyimpangan, kemudian beliau berkata,” Utsman bin Umar adalah Al Abdi.”15

Utsman bin Umar Al Abdi seorang perawi tsiqah, termasuk perawi kutubus sitah.16
Ath Thabrani meriwayatkan dari Abul Ahwash dari Ibnu Mas’ud ia berkata,” Uang suap dalam masalah hukum adalah kekufuran dan ia uang haram di antara manusia.”17 Al Haitsami berkata,” Para perawinya perawi kitab ash shahih.”18

Waki’ dalam Akhbarul Qudhat I/52 meriwayatkannya dengan lafal,” Hadiah atas vonis (yang menguntungkan) adalah kekufuran, ia uang haram di antara kalian.”
Syaikh Abu Isra’ Al asyuthi berkata,” Atsar dari Ibnu Mas’ud ini membedakan antara uang suap yang terjadi di antara sesama manusia dengan yang terjadi di antara para penguasa atau qadhi saja. Yang pertama sekedar uang haram, sementara yang kedua telah kafir. Tak diragukan lagi maksud beliau adalah kafir akbar, dengan dua alasan :

Satu. Beliau menyebutkannya secara mutlaq tanpa ada ikatan. Kata kufur jika disebutkan secara mutlaq maka maknanya adalah kafir akbar, sebagaimana sudah dimaklumi bersama.

Dua. Beliau menyebutkannya sebagai lawan dari uang haram, sementara melakukan suap yang merupakan sebuah harta haram adalah kafir asghar. Dengan demikian, kebalikannya adalah kafir akbar. Al Jashash dalam Ahkamul Qur’an 2/433 berkata,” Ibnu Mas’ud dan Masruq telah mentakwilkan haramnya hadiah bagi penguasa atas penanganan perkaranya. Beliau mengatakan,” Sesungguhnya menerima uang suap bagi para penguasa adalah kekafiran.”

Perbedaan pendapat yang kami jelaskan ini juga dikuatkan oleh apa yang dikatakan oleh Ibnu Qayyim, di mana beliau mengatakan,” Ibnu Abbas berkata,” Bukanlah kekafiran yang mengeluarkan dari milah, tapi jika ia mengerjakannya berarti telah kafir namun bukan seperti orang yang kafir kepada Allah dan hari akhir.” Demikian juga pendapat Thawus…Ada yang mentakwil ayat ini kepada makna para penguasa yang meninggalkan berhukum dengan hukum Allah karena juhud (mengingkari). Ini adalah pendapat Ikrimah, dan pendapat ini lemah karena mengingkari itu sendiri merupakan kekafiran baik ia sudah berhukum maupun belum. Ada juga yang mentakwilnya dengan makna meninggalkan berhukum dengan seluruh kandungan kitabullah…ada juga yang mentakwilnya dengan berhukum dengan hukum yang bertentangan dengan nash-nash secara sengaja, bukan karena salah dalam mentakwil. Ini disebutkan oleh Imam al Baghawi dari para ulama secara umum. Ada juga yang mentakwilnya bahwa ayat ini untuk ahlul kitab…sebagian lainnya membawa makna ayat ini kepada kekafiran yang mengeluarkan dari milah.”19

Pendapat yang dinukil oleh Ibnu Qayyim ini secara tegas menyatakan pendapat Ibnu Abbas yang dijadikan dasar pendapat syaikh Al Albani bukanlah satu-satunya pendapat dalam masalah ini. Sebagian salaf ada yang membawa kekafiran dalam ayat ini kepada makna kafir yang mengeluarkan dari milah, sementara sebagian lainnya tidak demikian.
Dengan ini semua, kalau ada yang berpendapat bahwa setiap orang yang berhukum dengan selain hukum Allah telah kafir dengan kafir akbar yang mengeluarkan dari milah, maka ia telah mempunyai ulama salaf yang lebih dulu mengatakan hal itu. Wallahu A’lam.
Hal ini kami sampaikan, meskipun kami sendiri meyakini bahwa pendapat yang benar dalam masalah ini bahwa kata “kafir” tersebut mengandung dua macam kekafiran ; kafir asghar dan kafir akbar sesuai kondisi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah. Jika ia berhukum dengan selain hukum Allah ; ia mengakui wajibnya berhukum dengan hukum Allah, mengakui perbuatannya tersebut adalah maksiat dan dosa dan berhak dihukum, maka ini kafir asghar. Namun apabila ia berhukum dengan selain hukum Allah ; karena menganggap remeh hukum Allah, atau meyakini selain hukum Allah ada yang lebih baik, atau sama baik atau ia boleh memilih antara berhukum dengan hukum Allah dan hukum selain Allah, maka ini kafir akbar. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim, sebagaimana akan disebutkan nanti dengan izin Allah. Dan ini pulalah makna dari pendapat Ibnu Abbas di atas.

Namun kami tetap mengatakan atsar ini adalah untuk seorang penguasa yang memutuskan sebuah kasus atau lebih dengan selain hukum Allah dalam kondisi syariat Islam menjadi satu-satunya syariat yang berkuasa. Adapun orang-orang yang menetapkan undang-undang dan memutuskan perkara di antara manusia dengan undang-undang ketetapan mereka tersebut yang tidak mendapat izin Allah, maka perbuatan mereka ini kafir akbar mengeluarkan dari milah, tidak termasuk dalam pembagian di atas.20

[4]- Benarkah mendasarkan kafirnya para penetap undang-undang positif seperti kasus para penguasa sekuler tersebut kepada QS. Al Maidah : sebuah takwil tak berdasar yang menyelisihi firqah najiyah ?

Membedakan antara penguasa yang berhukum dalam satu kasus atau lebih dengan selain hukum Allah, dengan penguasa yang menetapkan undang-undang selain Allah, dan membawa pendapat Ibnu Abbas [kufrun duna kufrin] untuk makna al qadha’ (memutuskan perkara), bukan untuk masalah tasyri’ (menetapkan undang-undang) ; bukanlah takwil sesat sebagaimana dituduhkan oleh syaikh Al Albani rahimahullah. Justru hal ini berarti membawa lafadz kepada makna asalnya dalam pengertian secara bahasa.
Karena makna Al hukmu (berhukum, memutuskan perkara) secara bahasa adalah al qadha’, sebagaimana disebutkan dalam Al Qamus.21

Secara istilah Al Qur’an, terkadang bermakna al qadha’ sebagaimana firman Allah:

وأن احكم بينهم بما أنزل الله

” Maka putuskanlah perkara di antara mereka dengan hukum Allah.” [QS. Al Maidah :49].
Dan firman-Nya:

ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل وتدلوا بها إلى الحكام

” Dan janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil dan kalian membawanya kepada para hakim.” [QS. Al Baqarah :188].
Terkadang dalam Al Qur’an bermakna qadar (taqdir), itulah uyang disebut para ulama dengan istilah hokum kauni syar’i. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

فلن أبرح الأرض حتى يأذن لي أبي أو يحكم الله لي وهو خير الحاكمين

” Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir sampai ayah mengizinkanku untuk kembali atau Allah memberi keputusan kepadaku. Sesungguhnya Allah adalah Hakim yang sebaik-baiknya..“[QS. Yusuf :108].
Terkadang bermakna tasyri’, itulah yang disebut oleh para ulama dengan istilah hukum syar’I, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

إن الله يحكم ما يريد

“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang Ia kehendaki.” [QS. Al Maidah:1].22

Perkataan Ibnu Abbas berkenaan dengan firman Allah:
” Dan barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir...” [QS. Al Maidah: 44].
Mengartikan “al hukmu” yang dimaksud dalam atsar Ibnu Abbas dengan al qadha’ dan bukan tasyri’, sama sekali bukan melakukan takwil. Karena takwil yang dimaksud di sini adalah memalingkan lafal dari makna dhahirnya. Apakah mengartikan dengan makna qadha’ berarti memalingkan lafal ini dari dhahirnya ? Ataukah justru mengembalikan kepada makna asalnya yaitu al qadha ?

Bahkan terdapat perkataan shahabat Ibnu Abbas sendiri yang menunjukkan beliau membawa makna al hukmu kepada makna al qadha’ secara mutlaq. Yaitu dalam riwayat Ath Thabrani dari Ibnu Buraidah Al Aslami ia berkata,” Seorang laki-laki mencela Ibnu Abbas. Maka Ibnu Abbas menjawab,” Anda mencela saya padahal saya mempunyai tiga sifat :

(a) Saya membaca satu ayat Al Qur’an lalu saya ingin agar manusia bisa memahami maknanya sebagaimana saya memahaminya, (b) saya mendengar ada seorang hakim dari hakim-hakim kaum muslimin yang adil dalam hukumnya maka saya senang karenanya padahal barangkali tak sekalipun aku akan mengadukan permasalahanku kepadanya, dan (c) aku mendengar hujan jatuh di salah satu negeri kaum muslimin maka aku senang karenanya padahal aku tidak mempunyai hewan ternak di negeri tersebut.”23

Imam Al Haitsami berkata,” Para perawinya adalah perawi kitab ash shahih.”24

Perkataan beliau “seorang hakim dari hakim-hakim kaum muslimin” serta perkataan beliau “padahal barangkali tak sekalipun aku akan mengadukan permasalahanku kepadanya”. Hal ini jelas menunjukkan bahwa beliau membawa makna al hukmu kepada makna al qadha’ secara mutlaq. Bagaimanapun keadaannya, sebuah lafal jika mempunyai beberapa makna, maka memilih salah satu maknanya sama sekali tidak dianggap sebuah takwil. Wallahu A’lam.

Sebenarnya penjelasan para ulama salaf dan kontemporer tentang jenis-jenis berhukum dengan selain hukum Allah Ta’ala yang termasuk kategori kafir akbar (point 1-6 dalam pembahasan sebab-sebab murtadnya penguasa di awal) sudah sangat jelas, namun penjelasan dan bantahan syubhat ini perlu ditambahkan untuk menyingkap syubhat para pembela penguasa sekuler murtad tersebut.

[5]- Yang dimaksud dengan kafir asghar dari bentuk berhukum dengan selain hukum Allah adalah ketika sebuah pemerintahan menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya UUD dan UU yang berlaku dalam sebuah negara. Syariah Islam sebagai satu-satunya UU yang mengatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian dalam satu kasus tertentu, seperti kasus pencurian yang telah mencapai nishab dilakukan oleh kerabat penguasa, karena kasihan maka penguasa tersebut menerapkan hukuman penjara sekian tahun sebagai ganti hukuman potong tangan. Ia menyadari perbuatan ini salah dan termasuk sebuah kekafiran, namun ia masih tetap melaksanakan seluruh syariat Islam lain dalam seluruh aspek kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Inilah yang diterangkan oleh para ulama.

Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Alu Abdu Lathif mengatakan :
“ Berhukum dengan selain hukum Allah hukumnya kufur asghar ketika seorang penguasa atau hakim memutuskan suatu perkara tertentu25 dengan selain hukum Allah namun ia masih meyakini bahwa memutuskan perkara tertentu tersebut wajib dengan hukum Allah. Ia berpaling dari hukum Allah dalam masalah tersebut karena maksiat, hawa nafsu dan syahwatnya dengan mengakui bahwa hal itu termasuk dosa dan karena perbuatannya itu ia berhak untuk dihukum.”26

Kita ketengahkan disini perkataan para ulama dalam masalah ini :

Imam Al Qurthubi berkata :
“ Jika ia memutuskan perkara dengan selain hukum Allah karena mengikuti hawa nafsu dan berbuat maksiat maka itu hukumnya dosa yang bisa diampuni berdasar aqidah ahlu sunah dalam masalah ampunan bagi orang-orang yang berbuat dosa.”27

Imam Ibnu Taimiyah berkata :
“ Adapun orang yang komitmen dengan hukum Allah dan Rasul-Nya secara lahir dan batin tapi ia berbuat maksiat dan mengikuti hawa nafsunya, maka ia seperti pelaku maksiat lainnya.”28

Imam Ibnu Qayyim berkata :
“ Jika meyakini wajibnya memutuskan perkara dengan hukum Allah dalam masalah tersebut kemudian ia berpaling darinya karena maksiat sementara ia masih mengakui ia berhak mendapat hukuman (atas sikap meninggalkan hukum Allah dalam kasus ini) maka ini kafir asghar.”29

Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata :
“ Adapun jenis kedua dari dua jenis kekufuran karena meninggalkan berhukum dengan hukum Allah adalah kufur yang tidak mengeluarkan dari milah yaitu jika syahwat dan hawa nafsunya membawanya untuk memutuskan suatu kasus dengan selain hukum Allah dengan masih meyakini bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itulah yang benar dan ia masih mengakui perbuatannya itu salah dan menjauhi petunjuk. Sekalipun hal ini tidak mengeluarkan dari milah namun kemaksiatannya sangat besar, lebih besar dari dosa-dosa besar seperti berzina, minum khamr, mencuri, sumpah palsu dan sebagainya. Karena sebuah kemaksiatann yang disebut Allah dalam kitab-Nya sebagai sebuah kekufuran lebih besar dosanya dari maksiat yang tidak disebut sebagai kekufuran.”30

Syaikh Asy Syanqithi berkata :
“ Siapa tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah dengan masih meyakini perbuatannya itu haram dan ia melakukan suatu hal yang buruk, maka kekufuran, kedzaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkannya dari milah.”31
Kondisi seperti inilah yang dimaksudkan oleh perkataan Ibnu Abbas, Atha’, Thawus dan Abu Mijlaz.

Telah tersebut riwayat bahwa Ibnu Abbas berkata tentang ayat,” Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir.” [Al Maidah :44].

“ Bukan kekafiran yang mereka (Khawarij) maksudkan.”32 Dalam riwayat lain beliau berkata,” Kekafiran yang tidak mengeluarkan dari milah.”33

Atha’ berkata,:
” Kufur duna kufrin, dzulmun duna dzulmin dan fisqun duna fisqin.”34
Thawus berkata,”
“ Bukan kekafiran yang mengeluarkan dari milah.”35

Ketika sekelompok Ibadhiyah menemui Abu Mijlaz, mereka bertanya kepadanya,” Allah berfirman :
” Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang dzalim.”
Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang fasiq.”

Abu Mijlaz menjawab,” Mereka ---para penguasa--- mengerjakan perbuatan mereka namun mereka tahu itu perbuatan dosa…”36

Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Alu Abdu Lathif mengartakan :

“ Yang perlu disebutkan di sini ada sementara orang yang memaknai pendapat Ibnu Abas dan atsar-atsar di atas BUKAN PADA TEMPATNYA. Mereka memahaminya secara buruk, karena itu perlu diingatkan di sini beberapa hal:

1). Dhahir konteks ayat-ayat di atas : menunjukkan bahwa maksud ayat–ayat tadi pada asalnya adalah kekufuran, kedzaliman dan kefasikan akbar (yang mengeluarkan dari Islam).37
Sebagaimana diterangkan oleh asbab nuzulnya ayat, di mana diturunkan kepada orang-orang Yahudi sebagaimana telah diterangkan dimuka. Kemudian juga para imam tadi seperti Ibnu Abbas dan lain-lain memaknainya secara umum termasuk orang-orang yang tidak kafir38, mereka mengatakan,”kufur duna kufrin,” padahal konteks ayat menunjukkan ayat-ayat ini berkenaan dengan orang-orang kafir (yang keluar dari Islam), sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain dari Bara’ bin Azib sebab turunnya ayat ini,”Semua ayat ini berkenaan dengan orang kafir.”

2). Yang dikatakan oleh Abu Mijlas kepada Ibadhiyah adalah jawaban beliau untuk menolak pendapat Khawarij yang memaksa Abu Mijlaz untuk mengkafirkan para penguasa saat itu karena mereka berada dalam barisan tentara sultan, juga karena mereka melanggar beberapa larangan Allah.

Di antara yang dikatakan oleh Mahmud Syakir mengenai perkataan Abu Mijlaz :
“ Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan. Wa Ba’du. Sesungguhnya ahlu raib (orang-orang yang ragu) dan ahlu fitnah di kalangan orang-orang yang mengeluarkan pandangannya (ulama) pada masa sekarang ini telah mencari-cari alasan untuk membela para penguasa dalam hal meninggalkan menghukumi dengan hukum Allah dan dalam memutuskan perkara dalam masalah darah, kehormatan dan harta dengan selain syariah Allah yang diturunkan dalam kitab-Nya dan sikap penguasa yang mengambil undang-undang kafir sebagai undang-undang dalam negeri-negeri Islam. Ketika mereka menemukan dua khabar (riwayat) ini39, mereka mengambilnya sebagai pendapat yang dengannya mereka membenarkan memutuskan perkara dalam masalah harta, kehormatan dan darah dengan selain hukum Allah dan bahwasanya memutuskan perkara secara umum tidak membuat orang yang ridha dengan hal itu dan pelakunya kafir.

Sampai pada perkataan beliau :
“ Pertanyaan mereka bukanlah apa yang dijadikan hujah oleh para pengikut bid’ah zaman sekarang ini yaitu menetapkan undang-undang dalam masalah harta, kehormatan dan darah dengan undang-undang yang menyelisihi syariah orang Islam dan bukan pula dalam masalah membuat undang-undang yang diwajibkan untuk orang Islam dengan berhukum kepada hukum selain hukum Allah dalam kitab-Nya dan atas lisan nabi-Nya. Perbuatan membuat undang-undang selain hukum Allah ini adalah berpaling dari hukum Allah, membenci dien-Nya dan mengutamakan hukum-hukum orang kafir atas hukum Allah Ta’ala. Ini jelas kekafiran yang tak seorang muslimpun yang ragu mengenainya meskipun mereka masih berbeda pendapat mengenai kafirnya orang yang mengatakannya dan penyeru kepadanya…”

“ Kalau masalah ini seperti apa yang mereka kira mengenai khabar Abu Mijlaz, bahwasanya mereka memaksudkannya untuk sikap sultan yang menyelisihi salah satu hukum dari hukum-hukum syariah Islam, maka sesungguhnya belum pernah terjadi dalam sejarah Islam peristiwa seorang penguasa membuat suatu hukum dan dijadikannya sebagai undang-undang yang wajib dijadikan keputusan dalam memutuskan perkara. Ini pertama. Selain itu, seorang penguasa yang memutuskan perkara dalam satu masalah tanpa hukum Allah, kedudukan ia boleh jadi karena tidak tahu, maka posisi dia seperti orang tidak tahu lainnya dalam masalah syariah. Dan boleh jadi juga karena memutuskan perkara itu karena mengikuti hawa nafsu dan bermaksiat, maka ini dosa yang bisa diampuni dengan taubat dan maghfirah.”40

Di antara yang menguatkan kenyataan ini adalah riwayat Abd bin humaid dan Abu Syaikh dari Abu Mijlaz ketika ditanya :

( ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون). قَالَ : نَعَمْ. قَالُوْا : ( ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الظالمون). قَالَ : نَعَمْ. قَالُوْا :( ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الفاسقون).قَالَ :نَعَمْ. قَالُوْا : فَهَؤُلَاءِ يَحْكُمُوْنَ بِمَا أَنْزَلَ الله ؟ قَالَ : نَعَمْ, هُوَ دِيْنُهُمُ الَّذِي بِهِ يَحْكُمُوْنَ وَ الَّذِي بِهِ يَتَكَلَّمُوْنَ وَ إِلَيْهِ يَدْعُوْنَ. فَإِذَا تَرَكُوْا مِنْهُ شَيْئًا عَلِمُوْا أَنَّهُ جُوْرٌ مِنْهُمْ وَ إِنَّمَا هَذِهِ الْيَهُوْدُ وَ النَّصَارَى وَ الْمُشْرِكُوْنَ الَّذِيْنَ لَا يَحْكُمُوْنَ بِمَا أَنْزَلَ الله

Riwayat Abd bin Humaid dan Abu Syaikh dari Abu Mijlaz ia berkata;
“ Saat orang Ibadhiyah membaca ayat,” Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” Abu Mijlaz berkata,“ Ya, betul.”

Mereka membaca lagi ayat,“ Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.” Abu Mijlaz berkata,“ Ya, betul.”

Mereka membaca lagi ayat,“ Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq.” Abu Mijlaz berkata,“ Ya, betul.”

Orang-orang Ibadhiyah bertanya,” Apakah para penguasa memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah ?”
Abu Mijlaz menjawab,” Ya, itulah dien mereka yang dengannya mereka memutuskan perkara dan dengannya mereka berkata dan kepadanya mereka menyeru. Jika mereka meninggalkan sesuatu darinya, maka mereka mengetahui bahwa hal itu kezaliman dari mereka. Sebenarnya ayat ini mengenai orang-orang Yahudi, Nasrani dan musyrikin yang tidak berhukum dengan hukum Allah.”41

Maka seyogyanya perkataan Abu Mijlaz, demikian juga perkataan Ibnu Abbas, dipahami menurut dhahirnya dan sesuai tempatnya tanpa sikap ekstrem maupun melalaikan, sehingga tidak seperti Khawarij yang menjadikan sikap menyelisihi syariah secara mutlak kafir akbar dan dalam waktu yang sama juga tidak seperti lawan Khawarij (Murjiah) yang menjadikan menolak syariah dan meminggirkan syariah dan berpaling darinya sebagai sekedar kafir asghar.

Ibnu Abbas sama sekali tidak bermaksud ---demikian juga Abu Mijlaz--- bahwa orang yang menolak komitmen dengan syariah Allah dan berhukum kepada undang-undang jahiliyah, karena pada masa-masa itu tidak ada orang yang berbuat seperti ini. Perkataan salafus sholih dalam masalah ma’siat kufur duna kufur berkisar tentang satu masalah atau kasus saja di mana tidak diputuskan menurut hukum Allah, karena lebih menuruti hawa nafsu dan bisikan syahwat, dengan disertai sikap mengetahui keharaman dan dosa perbuatan ini, jadi bukan manhaj (sistem perundang-undangan) secara umum.

Hal ini adalah perkara yang sudah jelas sebagaimana dijelaskan oleh perkataan Ibnu Taimiyah yang telah lalu,” Adapun orang yang komitmen dengan hukum Allah dan rasul-Nya secara lahir dan bathin namun berbuat maksiat dan mengikuti hawa nafsunya maka ia seperti pelaku maksiat lainnya.”42

Demikian juga perkataan Ibnu Qayyim,” Jika ia meyakini wajibnya memutuskan hukum dengan hukum Allah dalam satu masalah, kemudian ia berpaling karena maksiat namun ia mengakui ia berhak mendapat hukuman atas perbuatan ini maka ini kafir asghar.”43
-Selesai-

Footnote:
1 - Tahdzibu Tahdzib 2/280, Daarul Fikr, cet 1 ; 1404 H / 1984.
2 - Tafsiru Ath Thabari 6/319, Daarul Fikr, Beirut, cet 1 ; 1421 H / 2001 M.
3 - Tafsiru Ath Thabari 6/318.
4 - Tahdzibu Tahdzib 11/62, Tadzkiratul Hufadz 2/507.
5 - Tahdzibu Tahdzib 4/109-110, At Taqrib 1/312.
6 - Tafsir Ibn Katsir 2/62 saat menerangkan ayat tersebut.
7 - Tahdzibu Tahdzib 11/32.
8 - Tahdzibu Thadzib 11/32.
9 - Waqfaatun Ma’a Syaikh Al Albani hal. 20, cet 1 ; 1418 H/1997 M, almurabeton.com.
10 - Tafsir Ath Thabari 6/320.
11 - Tahdzibu Tahdzib 7/298-299.
12 - Waqfaatun Ma’a Syaikh Al Albani hal. 21, cet 1 ; 1418 H/1997 M almurabeton.com.
13 - Tafsir Ath Thabari 6/320.
14 - Majmauz Zawaid wa 15 - Musnad Abu Ya’la dengan tahqiq :Husain Sualim Asad 9/173-174.
16 - Tahdzibu Tahdzib 4/92-93.
17 - Al Mu’jamu Al Kabir 9/229 no. 9100.
18 - Majma’ Zawaid 4/199.
19 - Madariju As Salikin I/364.
20 - Waqfaatun Ma’a Syaikh Al Albani hal. 24.
21 - Qamus Al Muhith 4/39, Daarul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, cet 1 ; 1415 H / 1995 M. Lisaanul ‘Arab 12/140-145.
22 - Mengenai masalah hukum kauni dan hukum syar’i, silahkan lihat Syifaul ‘Alil Ibnu Qayim hal. 270-283 dan Syarhu Aqidati Ath Thahawiyah 2/658 ; Daarul ‘Alaamil Kutub, Riyadh, cet 3 ; 1418 H / 1997 M.
23 - Al Mu’jamu Al Kabir 10/226 no. 10621.
24 - Majmauz Zawaid 9/284.
25 - Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Alu Abdu Lathif menambahkan dalam foot note : Jadi bukan system atau undang-undang yang dijalankan selamanya, karena undang-undang yang diberlakukan selamanya termasuk enggan dan menolak hukum Syariah sebagaimana telah dijelaskan. Adapun kufur asghar di sini adalh orang yang secara umum masih komitmen dengan syariah Islam sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Taimiyah..dan juga seperti dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim :” Adapun berhukum dengan selain hukum Allah yang dinamakan kufur duna kufur adalah jika berhukum kepada selain Allah dengan masih meyakini ia telah berbuat maksiat dan hukum Allah lah yang benar,ini hanya bagi yang melakukannya sekali atau semisalnya. Adapun yang membuat undang-undang dengan tertib dan memaksakan maka ini lah yang kafir (yang mengeluarkan dari Islam) sekalipun mereka mengatakan,”Kami memang salah dan hukum syariah lebih adil.” Fatawa Muhammad bin Ibrahim 12/280, lihat juga Muhammad bin Ibrahim 6/189. Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal ‘Amaliyah hal. 335, Daarul wathan, Riyadh, cet 1 ; 1414 H.
26 - Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal ‘Amaliyah hal. 335.
27 - Tafsir Al Qurthubi 6/191.
28 - Minhajus Sunnah 5/131.
29 - Madariju Salikin 1/364, Syarhu Thahawiyah 2/446.
30 - Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim 12/291.
31 - Adhwaul Bayan 2/104, Adhwa’ 2/109, lihat juga Tahkimu Syariah Dr. Sholah Showi hal. 71, Dhawabithu Takfir 217, Wujubu Tahkimi Syariah dalam Majalah Buhuts juz 1 hal. 69, Adhwa’un ‘ala Ruknin Minat Tauhid hal. 42, Mukhtashor Al Ghiyatsi hal. 56.
32 - Al Hakim 2/313, Al Maruzi dalam Ta’dzimu Qadril Shalah 2/521.
33 - Al Hakim 2/213, Al Maruzi dalam Ta’dzimul Qadril Sholah 2/522.
34 - Tafsir Ath Thabari 6/148, Al Maruzi 2/522.
35 - Tafsir Ath Thabari 6/148, Al Maruzi 2/522.
36 - Tafsir Ath Thabari 6/146.
37 - Hal ini dikuatkan bahwa dalam ayat ini kata al kufru berbentuk ma’rifah dengan alif laam. Untuk mengetahui perbedaan antara kufur yang ma’rifah dengan alif lam dan kufur yang berbentuk nakirah, silahkan lihat Iqtidhau Shiratil Mustaqim, Ibnu Taimiyah, 1/208.
38 - Lihat Al Muwafaqat, Asy Syathibi 3/285 tentang rahasia kenapa ulama salaf membawa ayat semisal ini dan lainnya pada makna umum.
39 - Riwayat Abu Milaz yang diriwayatkan oleh Ath Thabari.
40 - Umdatu Tafsir 4/186-187, diringkas.
41 - Ad Durul Mantsur 3/88.
42 - Minhajus Sunnah 5/131.
43 - Madariju Salikin 1/364, lengkapnya silahkan lihat : Dhawabithu Takfir hal. 217, Adhwa' 'ala Ruknin Minat Tauhid hal. 36-43, Hadul Islam 406-414, Muhktashor Al Ghiyatsi hal. 46-60, Tahkimu Syariah hal. 70-83. (Nawaqidhul Iman Al Qauliyah wal ‘Amaliyah hal. 3337-340.)




1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus