Jumat, 22 Januari 2010

Hakikat Islam dan Hakikat Syirik (2)

dari : Kitab Al Haqaaiq fit Tauhid
oleh : Syaikh Ali Ibnu Khudlair Al Khudlair
alih bahasa : Abu Sulaiman


I.Hakikat Islam

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Bila mereka menghujjah kamu, maka katakanlah: “Saya serahkan wajah saya hanya kepada Allah dan begitu juga orang yang mengikutiku menyerahkan wajahnya kepada Allah saja”. (Ali Imran: 20)

Di sini disebutkan bahwa hakikat Al Islam adalah menghadapkan wajah sepenuhnya kepada Allah, dalam arti menujukan seluruh peribadatan, ketundukan, keberserahdiri hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Andaikata orang beribadah kepada Allah dan menujukannya kepada Allah, akan tetapi menuju kepada yang lain juga, maka berarti dia tidak menghdapkan wajah sepenuhnya kepada Allah, berarti dia belum muslim…

Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab menjelaskan : “Bila amalan kamu seluruhnya ditujukan kepada Allah maka kamu ini orang yang bertauhid, dan bila ada penyekutuan di dalamnya terhadap makhluk maka kamu ini adalah orang musyrik”

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

“(Tidak), barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, sedang ia berbuat baik, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati”. (Al Baqarah: 112)

Ayat “menyerahkan diri sepenuhnya” adalah sama dengan menyerahkan wajah sepenuhnya, dan ayat “berbuat baik (muhsin)” maksudnya adalah mengikuti tuntunan Rasul. Di sini disebutkan bahwa Islam adalah menghadapkan wajah sepenuhnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala disertai dengan ihsan (ittiba = mengikuti) apa yang dibawa oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnul Qayyim Al Jauziyyah mengatakan Al Islam: “Islam itu adalah mentauhidkan Allah, ibadah hanya kepada Allah tidak ada sekutu bagi-Nya. Iman kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul. Bila hal-hal ini tidak dibawa oleh seorang hamba maka dia bukan seorang muslim”.(Thariqul Hujratain:452) Karena tidak memenuhi keberserahan diri kepada Allah dan tidak disertai dengan ihsan (ittiba) kepada tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

Dan siapakah yang lebih baik diennya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mukhlis (muhsin/ittiba) , dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus ?” (An Nisa : 125)

PASAL

Pasal ini akan mengutarakan syarat-syarat Islam atau syarat-syarat Laa ilaaha illallaah, yaitu :

1.Al Ilmu (ilmu)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati kecuali Allah” (Muhammad: 19)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa yang mati sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati selain Allah, dia pasti masuk surga” (HR Muslim)

Kedua dalil di atas menjelaskan tentang syarat pertama diterimanya Laa ilaaha illallaah, yaitu al ilmu, mengetahui makna kandungan daripada Laa ilaaha illallaah. Seseorang harus mengetahui makna Laa ilaaha illallaah.

Banyak orang mengetahui terjemahannya tapi tidak mengetahui maknanya, jika orang yang pernah mengkaji tauhid mengartikannya: “tidak ada tuhan yang berhak diibadati selain Allah”, sedangkan orang yang mengetahui sebatas terjemahannya mengatakan: “tidak ada Tuhan selain Allah”. Sedangkan maknanya adalah harus mengetahu hakikat uluhiyyah dan ubudiyyah, hakikat ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah, sehingga ketika orang mengucapkan Laa ilaaha illallaah itu dia berada di atas ilmu, yaitu mengetahui apa yang harus dia tinggalkan dan apa yang harus dia lakukan.

Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menjelaskan bahwa Laa ilaaha illallaah menuntut orang muslim dari menafikan 4 hal, yaitu: Arbab, Alihah, Andad dan Thaghut. Dan berikut ini adalah penjelasannya:

a.Alihah
Alihah adalah kata jamak dari ilah yang artinya tuhan. Syaikh Muhammad ibnu Abdul Wahhab rahimahullah mengatakan secara khusus tentang definisi ilah atau tuhan ini : “Sesuatu yang engkau tuju dengan suatu hal dalam rangka tolak bala atau meminta manfaat”.

Contoh : Batu besar... batu dituju oleh orang dengan suatu hal (yaitu sesajian atau yang sejenisnya), berarti batu itu dituju oleh orang dengan maksud meminta manfaat atau meminta dijauhkan dari bala (bencana). Maka di sini batu itu telah menjadi ilah selain Allah atau telah dipertuhankan selain Allah.

Contoh : Pohon besar... orang datang ke pohon itu dengan membawa sesajian atau berupa sembelihan atau yang semisalnya. Maka ini pasti ada maksudnya, karena tidak mungkin orang membawa atau menyimpan sesaji-sesajian di pohon tersebut tanpa ada maksud, sedang ini tidak akan lepas dari dua hal : minta untuk penolakan bala atau minta manfaat. Ini berarti pohon tersebut telah diperlakukan sebagai ilah (tuhan) selain Allah oleh orang tersebut.

Contoh : Kuburan... ia di tuju oleh orang dengan suatu permintaan, dan ini tidak akan lepas dari dua hal, jika tidak meminta manfaat maka ia minta ditolakkan dari bala, ketika orang datang ke kuburan yang dikeramatkan itu maka berarti dia telah menjadikan kuburan tersebut sebagai ilah (tuhan) selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Contoh : Jin... ketika orang mau membangun sebuah rumah, kemudian ada yang mengatakan bahwa tanah atau daerah yang akan dipakai untuk membangun rumah tersebut ada “penuggunya”, lalu orang yang membangun rumah tersebut segera membawa sembelihan ayam atau ternak apa saja untuk dikuburkan di tanah tersebut. Berarti di sini, dia menuju ke yang menunggu tersebut (jin) dengan sesuatu hal (tumbal sembelihan) dengan maksud agar ketika menempati rumah tersebut dia tidak diganggu oleh jin si penunggu tersebut... dan contoh lain yang mana antum juga bisa mengetahuinya jika dihubungkan dengan realita.

Jika orang tidak mengetahui bahwa ketika dia membuat tumbal atau sesajian itu adalah bentuk penuhanan selain Allah, atau bentuk mempertuhankan selain Allah, maka berarti sebenarnya dia belum memahami makna Laa ilaaha illallaah, dan jika dia belum memahami makna Laa ilaaha illallaah maka dia itu belum muslim.

Oleh karena itu aneh sekali apabila ada orang yang mengudzur para pelaku syirik akbar karena kebodohan, karena justeru di antara syarat Laa ilaaha illallaah adalah memahami atau mengetahui makna Laa ilaaha illallaah. Sedangkan jika orang melakukan kemusyrikan karena ketidaktahuannya berarti dia belum memahami makna Laa ilaaha illallaah, dengan kata lain dia belum merealisasikan salah satu syarat Laa ilaaha illallaah, yaitu al ilmu, dan jika demikian maka Islamnya belum sah.
Ini adalah makna Alihah, kata jamak dari ilah yang artinya tuhan-tuhan selain Allah, yaitu orang dituntut untuk meninggalkan atau berlepas diri dari pada ilah-ilah atau tuhan-tuhan selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan ketika orang mengucapkan Laa ilaaha illallaah akan tetapi dia belum meninggalkan hal-hal tadi maka dia belum mengamalkan Laa ilaaha illallaah ini.

b.Arbab
Arbab adalah kata jamak dari rab yang artinya pengatur, maka dari itu Allah disebut Rabbul ‘alamin yang artinya Tuhan Pengatur alam semesta.

Rab adalah pengatur. Ini berarti berhubungan dengan aturan atau undang-undang. Allah yang menciptakan alam semesta, maka Allah-lah yang berhak menentukan hukum, baik itu hukum kauni (hukum alam) maupun hukum syar’iy, karena Allah adalah Rabbul ‘alamin…

Sebagai konsekuensi daripada Laa ilaaha illallaah, maka kita harus menafikan rububiyyah (pengaturan) dari selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tidak ada yang berhak untuk mengatur, tidak ada yang berhak untuk menentukan hukum, aturan, undang-undang selain Allah, karena Allah adalah Rabbul ‘alamin…

Ketika sifat ini diberikan kepada selain Allah, maka ini berarti telah memberikan salah satu sifat Allah kepada makhluk-Nya. Jadi, orang yang mengklaim bahwa dirinya berhak untuk membuat hukum atau undang-undang maka berarti dirinya itu telah memposisikan dirinya sebagai tuhan. Dan orang yang mengikuti aturan orang yang mengklaim berhak membuat hukum tersebut berarti telah beribadah kepada kepada si arbab (para pengaku tuhan selain Allah) tersebut.

Kita akan mengetahui makna rabb dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikut ini :

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah: 31)

Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:

1.Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2.Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3.Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4.Mereka telah musyrik
5.Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi rabb.

Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang sahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim ketika mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan : “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah beribadah kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka atau kami telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka.

Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang telah Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).

Jadi, orang-orang Nashrani merasa bahwa yang namanya ibadah itu adalah shalat, ruku, sujud, mereka tidak merasa bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah sebagai bentuk kemusyrikan, mereka juga tidak menyadari bahwa sikap setuju dan mengikuti dalam pengharaman apa yang telah Allah halalkan dan penghalalan apa yang Allah haramkan itu adalah sebagai bentuk kemusyrikan.

Di antara faidah yang bisa diambil dari hadits di atas adalah bahwa vonis MUSYRIK di dalam ayat tersebut bukanlah dengan sebab mereka shalat atau sujud kepada alim ulama dan para rahib mereka, akan tapi dikarenakan ketika alim ulama membuat hukum atau mengaku berhak membuat hukum, terus hukumnya diikuti, ditaati dan di komitmeni oleh orang-orang yang ada di bawahnya, maka Allah memvonis hal itu sebagai bentuk peribadatan. Jadi yang namanya arbab itu adalah yang membuat hukum selain Allah atau yang mengaku berwenang membuat hukum selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Arbab adalah tuhan-tuhan pengatur yang membuat hukum selain Allah, dan dalam surat At Taubah : 31 ini alim ulama dan para rahib adalah mereka yang membuat hukum di samping Allah ta’ala, kemudian hukum buatannya itu diikuti oleh orang-orang Nashrani tersebut, maka perbuatannya ini (membuat hukum) artinya telah memposisikan dirinya sebagai arbab (tuhan-tuhan pengatur selain Allah). Sedangkan orang yang mengikuti hukum tersebut atau komitmen untuk mentaatinya dan merujuk kepada hukumnya itu maka Allah memvonisnya sebagai orang-orang yang telah beribadah kepada alim ulama (ahli ilmu) dan para rahib (para pendeta), atau dengan kata lain Allah memvonisnya sebagai orang musyrik.

Jadi, konsekuensi daripada Laa ilaaha illallaah ini adalah berlepas diri dari segala pembuat hukum selain Allah dan berlepas diri dari setiap hukum selain yang bersumber dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka jika orang tidak memahami bahwa penyandaran hukum kepada selain Allah itu adalah termasuk kemusyrikan dan termasuk pelanggaran terhadap Laa ilaaha illallaah berarti keislamannya belum sah.

c.Andad
Andad adalah kata jamak daripada nidd yang artinya tandingan, maksudnya di sini adalah sesuatu yang memalingkan kamu dari Islam (tauhid), dan ini bisa berbentuk harta, isteri, anak, suku/adat atau tanah air. Allah Subhanahu Wa Ta’ala befirman:

“....Janganlah kamu menjadikan andad selain Allah sedangkan kamu mengetahui”(Al Baqarah : 22)

Contoh : Seorang ayah punya anak yang sakit, dia sudah berobat ke mana-mana, kemudian dia putus asa dan akhirnya karena ada yang menyarankan untuk pergi ke dukun akhirnya dia pergi ke dukun tersebut dan diapun mengikuti apa yang disarankan si dukun itu, maka si anak ini telah menjadi andad bagi si ayah yang menjerumuskannya ke dalam kekafiran, dan ketika dia mengikuti apa yang disarankan si dukun demi kesembuhan anaknya itu, maka berarti dia sudah keluar dari Islam karena sudah melanggar Laa ilaaha illallaah.

Contoh : Atau umpamanya orang tahu bahwa demokrasi itu syirik, sumpah untuk loyalitas kepada hukum thaghut itu syirik, akan tetapi karena gaji bulanan dan berbagai tunjangan yang menggiurkan, akhirnya dia mengikrarkan sumpah setia kepada hukum thaghut ini supaya mendapakannya. Ini berarti kecintaan kepada dunia telah memalingkan dia dari tauhid dan Islam, dunia telah menjadi andad bagi dia.

Sebagai konsekuensi daripada Laa ilaaha illallaah, maka orang harus menjauhi hal-hal seperti itu, jangan sampai hal tersebut memalingkan orang daripada tauhid…

d.Thaghut
Laa ilaaha illallaah menuntut untuk menafikan dan berlepas diri dari thaghut. Thaghut diambil dari kata thughyan yang artinya melampaui batas.

Batas makhluk adalah beribadah, batas makhluk adalah mengikuti aturan Allah, batas makhluk adalah memutuskan dengan hukum Allah, batas makhluk adalah berposisi di batas makhluk, tidak mengklaim atau mengaku mengetahui hal yang ghaib apalagi memposisikan diri sebagai Tuhan atau mengklaim berwenang membuat hukum. Batas makhluk adalah mengajak untuk beribadah kepada Allah.

Ketikan batas ini dilampaui; di mana orang yang seharusnya mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah tapi dia malah mengajak untuk membuat tumbal, sesajian, atau untuk melaksanakan hukum buatan manusia atau untuk mengikuti sistem selain syari’at Allah atau mengajak untuk menganut idiologi selain ajaran Islam, maka hal itu adalah thaghut.

Begitu juga orang yang seharusnya mengikuti aturan Allah, tapi dia malah membuat hukum selain hukum yang Allah turunkan, maka sipembuat hukum itu juga adalah thaghut.
Orang yang seharusnya memutuskan dengan apa yang Allah turunkan ─karena dia sebagai makhluk Allah─, akan tetapi dia malah memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan maka dia juga adalah thaghut.

Allah menetapkan bahwa pengetahuan terhadap yang ghaib itu hanya milik Allah, akan tetapi ketika orang mengklaim bahwa ia mengetahui hal yang ghaib, maka ia telah memposisikan dirinya sebagai tuhan dan dia telah melampaui batasannya sebagai makhluk, sedangkan konsekuensi daripada Laa ilaaha illallaah adalah kita harus menafikan hal-hal tersebut.

Jadi firman Allah:

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati kecuali Allah” (Muhammad: 19), adalah penegasan prihal kewajiban mengetahui kandungan makna kalimat tauhid ini, yang mana ini adalah syarat sah baginya, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang mati sedangkan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati selain Allah, dia pasti masuk surga” (HR Muslim)

Ini adalah syarat Laa ilaaha illallaah yang pertama…

2.Ikrar
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami” (Al Baqarah: 136)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu’anhu
)
Ini adalah syarat yang kedua. Setelah orang mengetahui maknanmya, maka selanjutnya dia harus ikrar (mengucapkannya), yaitu mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan “katakanlah”, maka berarti Allah memerintahkan untuk mengatakannya dan demikian juga dalam hadits yang telah lalu.

Para ulama sepakat bahwa; orang yang mampu mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah akan tetapi dia tidak mengucapkannya, maka dia belum muslim walaupun dia mengetahui makna Laa ilaaha illallaah.

Ini seperti Abu Thalib paman Rasulullah, di mana dia mengetahui makna Laa ilaaha illallaah dan dia juga meyakini kebenaran Laa ilaaha illallaah, akan tetapi dia tidak mau mengikrarkannya maka dia tidak memenuhi syarat ini.

Akan tetapi orang yang terlahir dari keluarga yang muslim, maka ketika sudah dewasa dia tidak diharuskan untuk mengucapkannya sebagai pertanda masuk islam sebagaimana yang disyaratkan oleh sebagian orang atau kelompok tertentu, karena dia terlahir di atas fithrah, kemudian kedua orang tuanya tidak menyelewengkan dia kepada Yahudi atau Nashrani atau yang lainnya. Sehingga tidak disyaratkan apabila dia sudah dewasa untuk mengucapkan Laa ilaaha illallaah Muhammad Rasulullah. Dan tidak pernah ada satu atsarpun yang mengharuskan hal ini, dan tidak pernah seorang sahabatpun melakukannya terhadap anak-anak mereka dalam rangka mengislamkan mereka.--bersambung--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar