Bantahan Atas Pendapat Syaikh Al Utsaimin
Yang Mensyaratkan Istihlal Bagi Kafirnya Orang yang Mengganti Syariah Allah dengan Undang-Undang Positif
oleh : Syaikh Abu Bashir
Dengan nama Allah Yang Maha Pengaih lagi Maha penyayang
Segala puji bagi Allah Ta’ala. Shalawat dan salam teruntuk baginda Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam….
Ada sebuah pertanyaan dari seorang ikhwan yang ditujukan kepada saya. Dalam pertanyaan tersebut, penanya mengatakan :
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada beliau melalui telepon dengan mengatakan :
[ Adapun bila penguasa menetapkan undang-undang yang harus ditaati oleh rakyat, dan ia berpendapat bahwa undang-undang tersebut lebih membawa kebaikan bagi rakyatnya serta ia terkena kerancuan, maka ia tidak kafir karena banyak penguasa yang tidak mengerti ilmu syariah, sementara yang berhubungan dengan para penguasa tersebut adalah orang-orang yang tidak mengerti ilmu syar’i padahal mereka dipandang oleh para penguasa sebagai kaum ulama, akibatnya terjadinya penyelisihan terhadap syariat.
Namun jika penguasa mengerti hukum syariat, lalu ia tetap memutuskan persoalan dengan undang-undang yang ia tetapkan atau menjadikan undang-undang tersebut sebagai undang-undang dasar yang harus ditaati oleh rakyat, sementara ia masih meyakini dirinya telah berbuat dzalim ---dengan perbuatan itu--- dan ia masih meyakini bahwa kebenaran adalah apa yang termuat dalam Al Qur’an dan As Sunah, maka kita juga tidak bisa mengkafirkan penguasa ini."
Anda bisa melihat jawaban selengkapnya lewat internet dalam situs :
www.geocities.com/omer_khalid2002/002.htm
Apa koreksian anda terhadap jawaban beliau ini menurut aqidah ahlu sunah wal jama’ah dalam masalah iman dan kekafiran ???? Jazakumullah khairan.
Jawab :
Segala puji bagi Allah Ta’ala rabb semesta alam. Saya telah membaca fatwa syaikh Muhammad bin Shaolih Al-Utsaimin secara lengkap dalam situs yang ditunjukkan tersebut. Saya mendapati fatwa beliau seperti yang ditanyakan dalam soal tersebut di atas. Sebagai jawaban, maka saya katakan bahwa fatwa beliau bisa dibagi menjadi dua bagian :
[a]- Bagian yang benar, dimulai dari awal fatwa tersebut sampai perkataan beliau “ …Akibatnya terjadinya penyelisihan terhadap syariat."
[b]- Bagian yang salah dan menyelisihi kebenaran, yaitu sejak perkataan beliau “Namun jika penguasa mengerti hukum syariat …” sampai akhir.
Dalil-dalil yang menunjukkan pendapat kami yang sesuai dengan pendapat beliau (yaitu bagian yang benar) tidak perlu diungkapkan karena adanya kesamaan.
Karena itu saya hanya akan menerangkan dalil-dalil atas bagian yang kami tidak sepakat dengan syaikh Utsaimin dan kami yakini beliau salah dalam hal ini.
Penjelasannya sebagai berikut :
1-Penguasa yang menetapkan undang-undang yang menandingi syariat Allah Ta’ala ---sedang ia mengetahui hal itu ---, lantas ia menjadikan undang-undang tersebut sebagai undang-undang dasar yang wajib diikuti oleh rakyat…adalah penguasa yang telah kafir berdasar nash dan ijma’, ia termasuk thaghut yang paling besar dan berbahaya…seorang muslim tidak sewajarnya ragu-ragu dalam mengkafirkannya, disebabkan oleh banyak alasan, antara lain :
[a]- Menetapkan undang-undang merupakan hak khusus dan sifat khusus untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Barang siapa menjadikan hak ini untuk dirinya ---tanpa mengakui hak tersebut hak Allah atau mengakui hak tersebut adalah hak Allah --- berarti telah menjadikan dirinya sebagai tandingan bagi Allah dalam sifat-Nya yang paling khusus !!!
Allah Ta’ala berfirman :
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ
" Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak beribadah kepada selain Dia." [QS. Yusuf :40].
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
" Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selin Allah yang mensyareatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah." [QS.Asyu Syura :21].
Dalam ayat yang pertama, Allah Ta’ala menetapkan bahwa Allah sematalah yang mempunyai hak menetapkan undang-undang dan hukum, kemudian Allah meniadakan dari diri-Nya adanya sekutu dalam menetapkan hukum dan undang-undang. Allah Ta’ala juga menyebut orang-orang yang menetapkan undang-undang kepada rakyat tanpa seizin Allah sebagai sekutu dan tandingan bagi Allah !!!.
Syirik itu tidak disebutkan kecuali untuk sebuah bentuk penyerahan ibadah kepada selain Allah ta’ala…sekutu tidak disebut sekutu bagi Allah kecuali ketika ia mengira bahwa dirinya mempunyai hak yang sebenarnya menjadi hak Allah semata !!!
[b]- Allah Ta’ala telah menyebut orang-orang yang membuat undang-undang selain hukum Allah sebagai arbab (tuhan-tuhan selain Allah). Allah Ta'ala juga menyebut rakyat yang mentaati undang-undang dan ketetapan para penguasa yang menghalalkan dan mengharamkan [tanpa izin Allah, menyelisihi hukum Allah Ta'ala] sebagai penyembah arbab [tuhan-tuhan selain Allah ta'ala] tersebut. Sebagaimana firman-Nya :
اِتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَ رُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ
" Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab [tuhan-tuhan selain Allah Ta'ala]." (QS. At Taubah : 31 ).
Nabi telah menafsirkan ayat "mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah" dengan makna ; rakyat mentaati undang-undang pendeta yang menghalalkan dan mengharamkan tanpa izin Allah dan menyelisihi hukum Allah.
[c]- Uluhiyah (pengakuan sebagai tuhan yang berhak diibadahi) Fir’aun dan para thaghut lainnya merupakan uluhiyah dalam arti menyatakan dirinya berhak menetapkan undang-undang, bahwa mereka sajalah penguasa tunggal tempat kembalinya segala persoalan, sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang si tirani Fir’aun ;
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا اْلمَلأُ مَا عَلِمْتُ لَكْمِ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي
" Fir'aun berkata kepada para pembesar kaumnya ; Wahai para pemuka kaumku, aku tidak mengetahui Ilah bagi kalian selain diriku." [QS. Al Qashash ;38].
Maknanya aku tidak mengetahui kalian mempunyai penguasa, penetap hukum, penetap undang-undang dan tempat kembali dalam mengembalikan seluruh urusan kehidupan kalian selain diriku. Makna ini secara tegas telah dinyatakan oleh fir’aun sendiri dalam firman Allah Ta’ala :
مَا أُرِيكُمْ إِلاَّ مَا أَرَى وَمَا أَهْدِيكُمِ إِلاَّ سَبِيْلَ الرَّشَادِ
" Aku tidak mengemukakan kepada kalian kecuali apa yang menurutku baik, dan aku tidak menunjukkan kalian kecuali kepada jalan yang benar." [QS. Ghafir :29].
Allah juga berfirman :
وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُوْنِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِيْنَ
" Dan barang siapa di antara mereka mengatakan," Aku adalah Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah, maka Kami membalasnya dengan Jahanam dan sesungguhnya demikianlah Kami membalas orang-orang yang dzalim."
Barang siapa menyatakan dirinya adalah penetap hukum atau berhak menetapkan hukum dan rakyat berkewajiban mentaati hukum yang ia tetapkan, berarti telah menjadikan dirinya sebagai Ilah (tuhan yang berhak diibadahi) dan mengaku dirinya mempunyai hak uluhiyah, baik ia tahu maupun tidak…baik ia menamakan hal itu sebagai uluhiyah dan rububiyah maupun tidak !!!!
[c]- Kekafiran penguasa jenis ini telah dinyatakan seluruh ulama Islam dahulu dan sekarang, tidak ada yang meragukan kekafiran dan kesyirikan mereka kecuali orang yang telah dipadamkan bashirahnya dan dibutakan hatinya oleh Allah dari cahaya wahyu Allah, sebagaimana dikatakan oleh syaikh Asy Syanqithi dalam menafsirkan ayat :
وَلاَ يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
" Dan Allah tidak mengambil seorang-pun sebagai sekutu-Nya dalam menetapkan hukum." [QS. Al Kahfi : 26].
Imam Ibnu Katsir ketika mengomentari hukum Ilyasiq bangsa Tartar mengatakan :
“ Barang siapa melakukan hal itu maka ia telah kafir berdasar ijma’ umat Islam.’
Sekiranya kita ingin menyebutkan secara panjang lebar perkataan para ulama dalam masalah ini tentulah akan memakan banyak ruang, sampai satu buku-pun tidak cukup !!!
[d]- Penguasa yang menetapkan undang-undang ini telah disebut oleh Allah sebagai thaghut, sementara keimanan seseorang tidak akan benar tanpa adanya sikap kufur kepada thaghut, sebagaimana firman Allah :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيْدًا
" Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." [QS. An Nisa ' : 60].
2-Pendapat syaikh Utsaimin bahwa bila penguasa tersebut menetapkan undang-undang yang wajib ditaati oleh rakyat, namun ia masih meyakini perbuatannya sebagai sebuah kedzaliman dan dosa, dan ia masih meyakini bahwa hukum yang benar adalah hukum Al Qur’an dan as sunah ; maka kita tidak bisa mengkafirkan penguasa ini…pendapat ini merupakan sebuah pendapat yang salah besar. Pendapat ini kami bantah dari dua segi:
[a]- Syarat takfir (jatuhnya vonis kafir) yang beliau sebutkan ini merupakan syarat lamunan yang tidak ada realitanya dalam kehidupan manusia. Tak seorang pun melakukannya, tak seorangpun akan menyatakannya, bahkan tak seorangpun kecuali meyakini undang-undang dasar dan hukum ketetapannya merupakan hukum yang paling baik, sebagai hukum ideal yang merealisasikan kebaikan dari segala aspek, sebagai kebenaran yang harus diikuti rakyat, selainnya adalah salah !!!! Sekalipun secara lisan ia tidak menyatakan hal ini, namun perbuatannya menunjukkan ini semua !!!
Tolong datangkan kepada saya seorang penetap undang-undang/legislatif ---sepanjang sejarah sampai hari ini--- yang mengakui bahwa dirinya dzalim atau ia menetapkan kedzaliman kepada rakyatnya…yang mengakui bahwa undang-undang selain yang ia tetapkan adalah benar dan undang-undang yang ia tetapkan salah. Tidak akan ada !!!
Karena itu pernyataan “jika ia meyakini bahwa ia dzalim” merupakan sebuah kerancuan…selain itu juga menunda hukum Allah Ta’ala untuk menghukumi para penguasa thaghut tersebut.
[b]- Tarohlah kita dapati ada yang mau mengakui bahwa dirinya dzalim dalam undang-undang yang ia tetapkan bagi rakyat, dzalim dalam menyatakan dirinya mempunyai hak rububiyah dan uluhiyah. Apa manfaat pengakuan ini baginya ????
Permisalan dirinya bagaikan orang yang mengatakan saya Ilah (tuhan), manusia wajib mentaati dan beribadah kepadaku, namun ia juga meyakini bahwa ia berbuat dzalim dengan pengakuannya ini. Apa manfaat keyakinannya ini bila ia sendiri telah melakukan kekafiran yang sangat nyata ????
Kaum Yahudi meyakini nabi Muhammad itu benar, ajaran yang ia bawa dari Allah adalah benar, mereka dzalim dengan permusuhan mereka kepada beliau, meski begitu, hal ini tidak memberi mereka manfaat sedikitpun karena mereka tidaka mengikuti beliau, tidak ridha dengan hukum dan syariat beliau, maka kaum yahudi telah kafir berdasar nash dan ijma’ !!!!
Saya sebutkan di sini terlalu mudahnya sebagian ikhwan di jazirah Arab dalam menggunakan kata sambung “tsumma (kemudian / lalu)” yang tersebut dalam sabda Rasulullah “ ma syaa Allahu tsumma maa syi’ta (terserah Allah, kemudian terserah anda)..mereka memakainya untuk hal yang tidak benar. Anda melihat mereka memakainya dalam hal-hal yang sebenarnya kesyirikan tanpa sepengetahuan mereka, hanya karena mereka mengira bahwa kalimat “kemudian” berlaku bagi mereka dalam segala hal, dalam setiap ungkapan, sebagaimana perkataan salah seorang mereka “Saya berwala’ kepada Allah, kemudian kepada fulan.” " Saya mentaati Allah kemudian mentaati fulan." " Saya berperang di jalan Allah kemudian di jalan fulan." Ini sama nilainya dengan ia mengatakan,” Saya beribadah kepada Allah kemudian kepada fulan.”
Demikian juga, saya melihat beberapa ulama telah terlalu mudah memakai syarat “mengakui kedzliman ”, mereka menganggap syarat ini sudah bisa menjadi udzur bagi orang yang mengakui dirinya sebagai Ilah (tuhan yang berhak diibadahi) dengan syarat ia mengakui dengan pernyataan itu ia telah berbuat dzalim, dengan demikian ia tidak bisa dikafirkan !!!!
3-Kami bertanya kepada syaikh ---beliau telah meninggal, rahimahullah---bagaimana kita bisa mengkompromikan antara keyakinan si penguasa tersebut bahwa ia telah dzalim, bahwa hukum Al Qur’an dan As Sunah adalah kebenaran, selainnya adalah batil, ia wajib memutuskan perkara dengan kitabullah dan sunah rasul-Nya…..(bagaimana kita mengompromikan pengakuan ini dengan kenyataan bahwa ) lalu ia tidak memutuskan dengan Al Qur’an dan As sunah, bahkan justru memerintah rakyat dengan undang-undang yang ia tetapkan sendiri yang menandingi syariatAllah, ia jadikan sebagai undang-undang dasar yang wajib ditaati oleh rakyat. Bagaimana hal ini bisa kita kompromikan dengan aqidah ahlu sunah wal jama’ah yang menyatakan bahwa iman adalah keyakinan, ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang… bahwa antara lahir dan batin ada hubungan yang sangat erat, masing-masing ikut mempengaruhi dan terpengaruh oleh yang lain…sebagaimana tersebut dalam banyak nash Al Qur’an dan As Sunah ????
Bagaimana kita mengkompromikan antara batin penguasa tersebut yang bersih, beriman, mencintai Allah dan syariat-Nya…dengan lahirnya yang menentang syariat dan hukum Allah ???? Bagaimana kita bisa mengkompromikan antara batinnya yang mengatakan bahwa dirinya adalah hamba Allah dengan lahirnya yang mengatakan bahwa dirinya adalah tandingan bagi Allah ???? Ataukah batinnya berjalan ke suatu arah dan lahirnya berjalan ke arah yang berlawanan ????
Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa salam telah bersabda ;
إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَ إِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ
أَلاَ وَهِيَ اْلقَلْبُ
" Di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh anggota tubuh lain akan baik dan jika ia buruk, maka seluruh anggota tubuh lain akan buruk. Itulah hati.”
4-Syaikh Utsaimin tidak mempunyai seorang ulama salafpun yang pernah berpendapat seperti pendapat beliau dan saya harap dalam kasus ini tidak digunakan pendapat Ibnu Abbas “ kufrun duna kufrin”, karena pendapat Ibnu Abbas berada di sebuah lembah, sementara pendapat syaikh Ibnu Utsaimin berada di lembah lain yang berbeda. Saya tidak pernah melihat ada pendapat ulama salafu sholih yang didzalimi melebihi pendapat Ibnu Abbas ini “kufrun duna kufrin”
5-Jika penguasa yang mengaku dirinya sebagai Ilah, menetapkan undang-undang dan mengganti syariat dan dien Allah dengan undang-undang positif ini ; tidak kafir, lantas siapa orang yang kafir itu ? ??? Kapan penguasa menjadi kafir ???
Setelah menyatakan tidak kafirnya penguasa yang menetapkan undang-undang positif dan mengganti syariat Allah dengan undang-undang positif, Syaikh Utsaimin menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan :
“ Penguasa yang kafir hanyalah penguasa yang berpendapat bahwa hukum selain Allah lebih baik bagi manusia daripada hukum Allah, atau hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah. Penguasa yang seperti ini telah kafir karena ia telah mendustakan firman Allah Ta’ala :
أَ لَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ
" Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya ?" [QS. At Tiin ;8]
Saya katakan :
“ Pembatasan seperti ini adalah pembatasan yang batil, sudah diketahui kebatilannya dalam dien kita secara sangat jelas. Maknanya syaikh Utsaimin tidak mengkafirkan penguasa kecuali penguasa yang berpendapat bahwa undang-undang positifnya lebih baik atau sama baik dengan hukum Allah, karena ia telah mendustakan (takdzib)…itu saja !!!
Kami hendak bertanya :
Jika yang mendorong penguasa untuk memutuskan dengan selain hukum Allah adalah kebencian kepada dien Allah dan hukum-hukum syariat-Nya, tanpa disertai sikap mendustakan, maka penguasa seperti ini menurut anda tidak kafir ??? Apakah penguasa seperti ini menurut anda penguasa yang beriman ???
Jika anda menjawab ya, ia penguasa yang beriman ---mau tak mau anda harus menjawab demikian---, anda bawa ke mana makna firman Allah Ta’ala (artinya) :
"Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka membenci apa yang Allah turunkan ( Al Qur'an), maka Allah menghapuskan (pahala) amal-amal mereka." [QS. Muhammad : 9].
Dan firman-Nya (artinya):
" Sesungguhnya orang-orang yang kembali kafir (murtad) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah berbuat dosa dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu disebabkan mereka mengatakan kepada orang-orang yang membenci apa yang Allah turunkan (Al Qur'an)," Kami akan mentaati kalian dalam sebagian urusan." [QS. Muhammad : 25-26].
Jika orang-orang yang mengatakan kepada orang-orang membenci hukum Allah “ Kami akan mentaati kalian dalam sebagian urusan” ---bukan dalam seluruh urusan---- telah murtad dan kafir, maka apa pendapat anda terhadap orang-orang yang membenci hukum Allah tersebut ???? Tak diragukan lagi, mereka lebih pantas murtad dan kafir.
Jika yang mendorong penguasa ini untuk memutuskan perkara dengan selain hokum Allah adalah rasa dengki, permusuhan dan kebencian kepada Allah, Rasulullah dan kaum beriman ----bukan mendustakan----, apakah menurut anda ia tidak kafir ????
Jika yang mendorong penguasa ini untuk memutuskan perkara dengan selain hukum Allah adalah kesombongan dan kecongkakan terhadap hukum-hukum dan syariat Allah, bukan mendustakan, apakah menurut anda ia tidak kafir ????
Jika yang mendorong penguasa ini untuk memutuskan perkara dengan selain hukum Allah adalah loyalitas kepada kaum Yahudi dan nasrani, demi mencari keridhaan kaum Yahudi dan nasrani kepada hukum positif yang ia tetapkan dan pemerintahannya, apakah menurut anda ia tidak kafir ????
Jika ia menjadikan dirinya sebagai Ilah yang menetapkan undang-undang yang menyelisihi dan menyaingi hokum Allah, lalu ia memaksa rakyat untuk mentaati undang-undang tersebut, apakah menurut anda ia tidak kafir sampai ia mengucapkan kalimat mendustakan ????
Saya katakan :
Seluruh penguasa yang sifatnya baru saja saya sebutkan tadi adalah penguasa yang kafir akbar, keluar dari Islam berdasar nash dan ijma’, tidak boleh ragu-ragu dalam mengkafirkan mereka. Kalaulah tidak karena takut akan panjang lebar dan keterbatasan ruang, tentulah kekafiran masing-masing penguasa yang baru saja saya sebutkan ini akan saya jelaskan secara rinci dengan dalil-dalil syar’i dan perkataan para ulama salafu sholih.1
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh2 rahimahullah telah menyebutkan enam golongan penguasa yang kafir keluar dari Islam3, kenapa syaikh Utsaimin hanya membatasinya dalam satu atau dua golongan saja ????
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh rahimahullah telah menyebut mereka sebagai pentolan-pentolan thaghut, kenapa para ulama sekarang justru menganggap mereka sebagai orang-orang beriman dan bertauhid, kenapa para ulama sekarang justru banyak berdebat untuk membela penguasa-penguasa tersebut ???
Kenapa pendapat syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tidak disebutkan ketika membahas masalah penting ini, padahal beliau telah membahas tuntas masalah ini ???? Ataukah nama beliau sekedar untuk mencari berkah ??? Ataukah perkataan beliau yang benar tidak membuat ridha para thaghut dan tidak memenuhi hasrat dan keinginan para politikus zaman sekarang ????
6- Termasuk perkataan syaikh Utsaimin yang patut dikritisi adalah perkatan beliau dalam fatwa tersebut :
“ Takfir merupakan sebuah masalah yang besar, tidak sewajarnya membicarakan masalah ini kecuali kepada para pelajar yang memahami dan mengerti makna dan konskuensi dari adanya penjatuhan vonis kafir maupun vonis belum kafir. Adapun masyarakat umum, maka membicarakan masalah telah jatuhnya vonis kafir (takfir) atau belum jatuhnya vonis kafir dalam masalah-masalah seperti ini akan mendatangkan banyak kerusakan.
Saya berpendapat, pertama; janganlah para pemuda disibukkan dengan permasalahan seperti ini, permasalahan apakah penguasa telah kafir atau belum ??? Permasalahan bolehkan memberontak atau tidak ???. Hendaklah para pemuda memperhatikan ibadah yang Allah wajibkan atau sunahkan kepada mereka !!!!
Saya katakan :
Kami tidak bisa membenarkan pendapat syaikh Utsaimin ini, kami mengkritisi perkataan beliau ini dalam beberapa point berikut :
[a]- Mengkafirkan thaghut, bara’ (berlepas diri dan menyatakan permusuhan) terhadap mereka, terhadap dien mereka, terhadap kekafiran dan kesyirikan mereka, merupakan ajaran dien Islam, bahkan merupakan ajaran dan perintah dien yang paling agung. Dien seseorang tidak akan lurus dan tidak akan sah sebelum kufur kepada thaghut, sebelum mengkafirkan dan bara’ terhadap thaghut, sebagaimana ditujukkan oleh syahadat tauhid, dan puluhan dalil lain dari Al Qur’an dan As Sunah !!!
Jika persoalannya demikian, maka kalangan umum tidak boleh dihalangi dari mengetahui perkara ini…atau pengetahuan tentang masalah ini dikhususkan bagi para pelajar saja seperti yang diinginkan oleh syaikh Utsaimin. Dien ---seluruh dien, terkhusus lagi tauhid---untuk semua orang…diberikan kepada semua orang, tidak seorangpun dihalangi untuk mengetahuinya. Bukan termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam menghalangi penyampaian ilmu kepada masyarakat, sehingga diberikan kepada sebagian orang dan tidak boleh diberikan kepada sebagian lainnya…hanya karena takut terjadinya kerusakan yang sebenarnya fiktif !!!!
Bahkan kerusakan yang sebenarnya adalah ketika masyarakat tidak mengetahui dien dan tauhid …adalah ketika mereka tidak mengetahui jalan para pendosa dan jalan para penguasa kafir dan thaghut….sehingga menyebabkan mereka berwala’ kepada para thaghut dan terjatuh dalam jurang kesyirikan tanpa mereka sadari….sebagaimana terjadi pada banyak masyarakat pada zaman sekarang !!!!
Dien yang mengandung sebagian ajaran yang hanya boleh diketahui oleh segelintir orang…sementara sebagian ajaran lainnya boleh diketahui oleh kalangan umum…adalah agama sekte sesat Qaramithah Bathiniyah yang takut kalau diri mereka dan kekafiran mereka diketahui oleh pengikut-pengikutnya…sehingga mereka menutup-nutupi akidah dan pemikiran mereka dari pengikut-pengikut awam mereka. Mereka tidak menampakkannya kecuali kepada pengikut tertentu mereka yang mereka percayai tingkat loyalitas dan kemampuannya dalam memahami istilah dan sandi-sandi mereka. Dien kita ---wal hamdu lillahi---berlepas diri dari hal itu !!!
Kalau syaikh Utsaimin mengatakan : kami menasehati kaum muslimin untuk tidak banyak memperbincangkan kekafiran yang masih kemungkinan dan mutasyabih (samar), kekafiran yang belum jelas dan tegas…karena kondisi seperti itu diserahkan kepada para para ulama spesialis dan ulama mujtahid untuk menjelaskan secara tegas…kalau syaikh Utsaimin mengatakan demikian tentulah perkataan beliau benar…tetapi tak sedikitpun fatwa syaikh Utsaimin menunjukkan hal ini !!!
[b]- Syaikh Utsaimin melarang para pemuda menyibukkan diri dengan mengkafirkan para thaghut, mengetahui penguasa mana yang telah kafir dan penguasa mana yang belum kafir, siapa yang boleh diberontak dan siapa yang tidak boleh diberontak. Syaikh Utsaimin menasehati mereka untuk memperhatikan hal-hal yang Allah wajibkan atau sunahkan kepada mereka. Ini artinya mengkafirkan para thaghut kafir dan murtad yang menguasai umat Islam dengan semena-mena bukan termasuk hal yang Allah wajibkan atau Allah Ta’ala sunahkan kepada mereka. Jelas ini sebuah kesalahan fatal dan bertentangan dengan puluhan nash Al Qur’an dan As Sunah yang mewajibkan kufur kepada thaghut dan berlepas diri darinya. Kami sebetulnya berharap syaikh Utsaimin tidak terjatuh dalam kesalahan seperti ini.
Lalu bagaimana kita akan mengkompromikan fatwa syaikh Utsaimin ini dengan praktek dari firman Allah Ta’ala (artinya);
" Dan demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat Al Qur'an (supaya jelas jalan orang-orang yang shaleh) dan supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa." [QS. Al An'am ;55].
[c]- Siapa yang mengambil keuntungan dari nasehat dan arahan syaikh Ustaimi yang mewajibkan para pemuda Islam untuk tidak mengetahui realita kehidupan mereka ini…realita para pemerintah thaghut yang memerintah mereka dengan undang-undang thaghut dan kafir ????
Siapa yang mengambil keuntungan ketika para pemuda Islam tidak mengetahui hukum Allah berkenaan dengan realita mereka dan realita para pemerintah thaghut tersebut ???
Siapa yang mengambil keuntungan ketika para pemuda Islam tidak mengetahui jalan orang-orang yang berdosa…sehingga mereka tidak bisa membedakan antara jalan orang-orang yang berdosa dengan jalan kaum beriman dan bertauhid ???? Sehingga mereka tidak bisa membedakan orang yang seharusnya mendapatkan loyalitas mereka dengan orang yang seharusnya mendapatkan bara’ (kebencian dan permusuhan) mereka ????
Tidak diragukan lagi…yang pertama kali dan terakhir kali meraih keuntungan adalah para pemerintah thaghut…para politikus penguasa penumpah darah ….yang meraih keuntungan adalah pemerintah kafir yang berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin !!!.
Kami jelaskan demikian, sekalipun kami juga meyakini nasehat syaikh Utsaimin sebenarnya tidak bermaksud sejauh ini. Namun nasehat syaikh Utsamin ini, tanpa sepengetahuan dan sekehendak beliau …telah memberi keuntungan kepada orang-orang yang baru saja saya sebutkan.
Karena berkumpulnya sebab-sebab inilah, saya meyakini syaikh Ustaimin rahimahullah telah terjatuh dalam kesalahan dalam hal-hal yang telah saya sebutkan, dan kesalahan beliau ini tidak boleh diikuti. Wallahu Ta’ala A’lam.
Jika saya heran (dengan ketergelinciran syaikh Utsaimin ini), maka saya lebih sangat heran lagi dengan sebagian orang yang mencari-cari ketergelinciran dan kesalahan para ulama untuk dijadikan alasan mengambil rukhsah atas kesesatan, penyelewengan dan pemahaman mereka yang salah…untuk dijadikan –huruf per huruf--- sebagai senjata dalam memerangi dan membantah kelompok lain….seakan ketergelinciran dan kesalahan para ulama adalah Al Qur’an yang tidak boleh dikritisi dan dibantah. Laa haula wa laa quwwata illa billahi.
Demikian koreksian yang bisa saya sampaikan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada saya. Sebagai penutup, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.
Abdul Mun’im Musthafa Halimah / 29/11/1421 H
Abu Bashiir 22/2/2001 M
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar