(MUHKAMATU MAHKAMAH AMNID DAULAH ILAA SYAR’ILLAH)
PENULIS
SYAIKH ABU MUHAMMAD ‘ASHIM AL-MAQDISIY
ALIH BAHASA
ABU SULAIMAN
Pengadilan bagi thaghut…
Berkas Dakwaan
Para Tersangka
1.Penguasa negeri ini dan seluruh penguasa zaman ini, dan para pembantunya dan orang-orang yang melindunginya untuk menerapkan undang-undang buatannya.
2.Hakim, Mahkamah Keamanan Negara dan para pembantunya, serta semua yang memutuskan dengan undang-undang buatan.
3.Badan Intelejen mereka, para Tentara mereka, aparat keamanannya, para pendukungnya serta kaki tangannya yang melindungi undang-undang buatannya.
4.Alim ‘Ulama mereka, para pendeta mereka, dan para cendikiawan yang menyesatkan, yang menggulirkan syubhat-syubhat yang bathil dalam rangka melegalkan agama syirik Demokrasi (hukum rakyat untuk rakyat).
5.Setiap orang yang mendukung mereka dan merestui mereka, dan berbicara atas nama mereka juga ikut serta dalam mengakui dan menjalankan agama Demokrasi mereka yang bathil.
II.Tuduhan-Tuduhan Pokok Yang Di Dakwakan
1.Menyerikatkan diri dengan Allah dalam satu sifat yang merupakan salah satu sifat khusus Allah (pembuatan hukum).
2.Peribadatan kepada selain Allah Ta’ala dengan cara memalingkan atau menerima hukum dari selain-Nya.
3.Mengangkat tuhan-tuhan yang membuat hukum lagi beraneka ragam di samping Allah.
4.Membekukan hukum-hukum Allah dan Syari’at-syari’at-Nya, serta mengedepankan undang-undang buatan dan hukum-hukum produk bumi terhadap hukum Allah.
5.Memerangi wali-wali Allah yang bertauhid yang mengajak manusia untuk kafir terhadap undang-undang buatan dan yang mengikuti hukum-hukum Allah.
6.Loyalitas terhadap musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang kafir di timur dan di barat.
7.Menghalangi manusia dari jalan Allah serta memperolok-olokan Syari’at Allah.
Pembuktian
8.Undang-undang Dasar kalian dan undang-undang serta hukum-hukum kalian lainnya.
9.Realita Umat.
Saksi-Saksi
10.Kitabulloh dan Sunnah Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan di akhirat para malaikat yang menulis, serta kitab yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar melainkan ia mencatat semuanya.
11.Umat :
“Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia” (Al-Baqarah: 143)
12.Lisan-lisan para tersangka, tangan-tangan mereka, kaki-kaki mereka, kulit-kulit mereka :
“Dan (Ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah di giring ke dalam neraka, lalu mereka dikumpulkan semuanya. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka : “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami ?” Kulit mereka menjawab : “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan”. (Fushshilat: 19-21)
Segala puji hanya milik Allah, Hakim yang seadil-adilnya yang telah menurunkan Al-Kitab dan Neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksakan keadilan, dan Dia telah menjadikan keadilan yang dengannya langit dan bumi berdiri, terkhusus ada pada syari’at-Nya, dan selain syari’at-Nya adalah aniaya, kedzaliman dan kesesatan sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus: 32)
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada penutup para Nabi dan Rasul yang bersabda dalam hadist shahih : “dua qadhi (hakim) di neraka dan satu qadhi di surga”. Adapun qadhi yang di surga maka ia adalah yang mengetahui al-haq (kebenaran) dan dia memutuskan dengannya, sedangkan al-haq itu tidak ada kecuali dalam ajaran Allah ta’ala.
Ini adalah lembaran-lembaran yang saya ingin menulisnya dalam rangka menjelas-kan al-haq dan dalam rangka pelepasan langsung tanggung jawab di hadapan Allah serta peringatan bagi orang yang melampaui batasan-batasan-Nya. Kami berikan kepada hakim, mahkamah keamanan negara (hafidh amin) dan para pembantunya, dan kepada setiap hakim dimana saja yang memutuskan dalam bingkai-bingkai undang-undang buatan yang menentang ajaran Allah ta’ala ini. Maksud kami di dalamnya bukanlah membela diri kami, karena Allah cukuplah bagi kami, Dia-lah Pelindung kami, Dia-lah sebaik-baik Pelindung, Penolong dan Penjaga, Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang Telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (Al-Hajj : 38)
Dan maksud kami juga bukanlah membela syari’at Allah dan agama-Nya, karena kalimat Allah itulah yang tinggi selamanya, sedangkan al-haq adalah ada di atas dan tidak ada yang lebih tinggi darinya, dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga telah meninggalkan kita di atas jalan yang terang, malamnya bagaikan siang hari, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali orang yang binasa. Akan tetapi maksud kami dari hal itu adalah sebagaimana apa yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan:
“Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata : “Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” mereka menjawa : “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa”. (Al-‘Araf: 164)
Ketahuilah wahai para hakim… bahwa hal itu yang paling pertama, paling penting, serta paling agung yang Allah fardhukan atas semua hamba untuk mempelajarinya dan mengamalkannya sebelum shalat, shaum, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya adalah Tauhid, yaitu beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala saja.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyyat: 56)
Para Ahli Tafsir berkata : “Yaitu supaya mereka beribadah kepada-Ku saja, atau supaya mereka menTauhidkan-Ku dengan ibadah”. Dan inilah makna Tauhid Laa ilaaha illallaah, dan inilah tujuan terbesar dan sasaran tertinggi serta Al-‘Urwah al-wutsqa’ (ikatan yang paling kokoh) yang karenanya Allah mengutus semu Rasul-Rasul-Nya, dan menurunkan karenanya kitab-kitab-Nya, Allah ta’ala berfirman:
“Dan kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya : “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (Al-Anbiyaa’: 25)
Dan Allah ‘Azza wa Jalla telah menjelaskan serta menerangkan kalimat ini dengan firman-Nya:
“Dan sungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu,” (An-Nahl: 36)
Dan tauhid inilah sebab sebenarnya dan sebab inti dalam permusuhan antara para Rasul dengan kaum-kaumnya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada (kaum) Tsamud saudara mereka Shaleh (yang berseru) : “Sembahlah Allah”. tetapi tiba-tiba mereka (jadi) dua golongan yang bermusuhan.” (An-Naml : 45)
Firman-Nya : “sembahlah Allah” yaitu : Tauhidkan Allah dalam ibadah dan janganlah kalian menyembah yang lain bersama-Nya. Itu di karenakan kaum-kaum para Rasul itu seperti manusia yang lain, mereka beribadah kepada Allah akan tetapi mereka mengibadati tuhan yang lain bersama-Nya. Jadi dakwah para Rasul itu bukanlah dalam rangka mendakwahi manusia beribadah kepada Allah, shalat kepada-Nya, shaum dan hal-hal lain yang serupa itu saja, karena mayoritas manusia itu adalah mengibadati Allah dengan ibadah-ibadah tersebut, akan tetapi dakwah para Rasul itu adalah dalam rangka peribadatan kepada Allah saja dan berlepas diri dari segala sesuatu yang di ibadati selain-Nya, yaitu : “sembahlah Allah dan jauhilah thaghut ”.
Dan karena hal itu terjadilah pertikaian dan di atasnya di siksalah para Rasul dan para pengikutnya, mereka di sakiti dan mereka di penjarakan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman seraya mengabarkan tentang Fir'aun :
“Fir'aun berkata: "Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar Aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” (Asy-Syu’araa : 29)
Dan dengan sebabnya terpecahlah manusia menjadi dua kelompok, satu kelompok di surga dan satu kelompok lainnya di dalam neraka yang menyala, karena ia-lah buhul tali yang amat kokoh yang dengannya Allah Subhanahu Wa Ta'ala menjamin tidak akan terputus dan di atasnya dasarnya Allah menjadikan tolak ukur keselamatan, dimana Dia ta’ala berfirman :
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) ; Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat, karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Allah pelindung orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 256-257)
Firman-Nya : “barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah” adalah Tauhid yang di kandung oleh Laa ilaaha illallaah.
Thaghut adalah segala sesuatu yang di ibadati selain Allah dengan bentuk peribadatan apa saja sedang dia ridha dengan peribadahannya itu. Bentuk-bentuk thaghut ini bisa beraneka ragam di setiap zaman dan tempat, kadang thaghut itu berupa patung atau berhala yang mana manusia shalat dan sujud kepadanya atau mereka menyembelih dan bernadzar untuknya, dan kadang thaghut itu berbentuk hukum selain Allah yang mana manusia merujuk kepadanya atau berbentuk pembuat hukum selain Allah, baik dia itu penguasa atau wakil rakyat atau dukun yang menetapkan bagi manusia aturan (hukum/undang-undang), perintah dan larangan yang tidak Allah izinkan. Dan begitulah bentuk-bentuk thaghut itu bisa beraneka ragam di setiap zaman dan tempat, namun tetaplah yang dituntut oleh semua Rasul itu adalah satu : “Ibadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut”.
Dan karena itu wajib atas setiap orang yang menginginkan surga dan keselamatan dari api neraka untuk mempelajari makna kalimat yang agung ini dan al-‘urwah al-wutsqa’ itu supaya mengamalkannya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Tuhan yang haq selain Allah” (Muhammad : 19)
Bila dia mempelajarinya, maka ia mengetahui untuk tujuan apa dia di ciptakan, dan untuk apa para Rasul di utus, serta untuk apa kitab-kitab di turunkan ?! dan tentu ia mengetahui jalan yang menghantarkan ke surga serta jalan lain yang menjerumuskan ke neraka.
Dan darinya jelaslah bagi kalian —hai para hakim— hakikat permusuhan antara kami dengan pemerintah kalian yang menggugurkan syari’at Allah, dan kenapa kami membencinya dan mengkafirkan serta memusuhi wali-walinya (aparat pendukungnya), dan kenapa mereka memerangi kami serta memenjarakan kami serta setiap orang yang menyerukan Tauhid.
Jadi, Laa Ilaaha Illallaah itu adalah Nafyun (peniadaan) dan Itsbat (penetapan), dan untuk berpegang pada al-‘urwah al-wutsqa’ yang terhadapnya Allah mengaitkan roda keselamatan ini seseorang harus mengumpukan di dalamnya antara dua rukun tersebut, yaitu nafyun dan itsbat. Penafian saja tidaklah cukup tanpa diserta itsbat, dan begitu juga itsbat tidak cukup tanpa di barengi penafian, akan tetapi mesti mengumpulkan antara dua hal itu.
Laa Illaaha adalah rukun penafian dalam kalimat yang agung ini dan itu telah di jelaskan Allah ta’ala dalam definisi al-‘urwah al-wutsqo’ dengan firman-Nya: “barangsiapa ingkar kepada thaghut” (Al-Baqarah : 256), dan dalam dakwah para Rasul dengan firman-Nya: “jauhilah thaghut ” (An-Nahl : 36).
Dan sebab Allah mendahulukan penafian ini terhadap itsbat adalah karena sangat penting dan urgennya penafian, sehingga itsbat (ibadah kepada Allah) tidaklah sah tanpa penafian ini (keberlepasan dari segala sesuatu yang di ibadati selain Allah), yaitu tidak sah dan tidak diterima serta tidak bermanfaat Iman kepada Allah, shalat, shaum, zakat dan haji tanpa kafir kepada thaghut , atau dengan makna lain : ibadah kepada Allah tidak akan bermanfaat bila disertai dengan peribadatan kepada selain-Nya, akan tetapi harus beribadah kepada Allah saja dan berlepas diri dari peribadatan kepada selain-Nya.
Dan Illallaah adalah rukun itsbat (penetapan), sedangkan ia itu mengandung peribadatan kepada Allah saja, dan Allah telah menjelaskan dalam definisi al-‘urwah al-wutsqa’ dengan firman-Nya: “dan beriman kepada Allah” (Al-Baqarah : 256) dan dalam dakwah para Rasul semuanya dengan firman-Nya “sembahlah Allah saja” (An-Nahl : 36).
Mungkin saja kalian hai para hakim berkata : “Siapa yang mengikari hal ini dan siapa yang menentangnya ?”, maka kami akan menjawabnya dengan mengatakan : “Kalian dan pemerintah kalian… Sesungguhnya kami mengajak manusia kepada Tauhid yang agung ini, sedang kalian malah mengajak mereka kepada yang membatalkan tauhid ini berupa kemusyrikan yang nyata lagi jelas…”
Mungkin kalian juga mengatakan : “Bagaimana itu ?, dan apakah kami shalat kepada selain Allah, atau menyeru selain Allah, atau shaum kepada selain Allah, atau meyembelih dan nadzar kepada selain Allah? Atau kami memerintahkan manusia kepada hal seperti itu??”
Maka kami akan menjawab kalian : Tidak ! akan tetapi orang yang beribadah kepada selain Allah di antara kalian, maka dia itu shalat kepada Allah, shaum kepada Allah, dan menyeru Allah, menyembelih qurban karena Allah dan nadzar untuk Allah, akan tetapi dia dalam bidang-bidang hukum dan aturan mengambil hukum tersebut dari selain Allah, sehingga dia itu menyekutukan bersama Allah tuhan-tuhan pengatur dan tuhan-tuhan lain yang di ibadati, bukan dalam shalat dan shaum serta yang lainnya, akan tetapi dalam penyandaran hukum. Sedangkan sudah diketahui dari agama kaum muslimin bahwa pengambilan dan penerimaan hukum (aturan/undang-undang) dari selain Allah adalah ibadah seperti halnya sujud, rukuk dan shalat kepada selain Allah,
sedangkan dalil-dalil terhadap hal itu dari Kitabulah dan Sunnah Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah :
1.Ada dalam Hadits yang shahih dengan penggabungan riwayat-riwayatnya yang telah di riwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan ahli tafsir, dari ‘Adiy ibnu Hatim radliyallahu 'anhu ―sedang dia itu nashrani kemudian masuk Islam― bahwa ia datang kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, terus mendengar Beliau membaca firman Allah ―Surat At-Taubah: 31―, maka ‘Adiy berkata : “wahai Rasulullah, orang nashrani tidak pernah beribadah kepada mereka !!”, maka Rasulullah bersabda : “Bukankah mereka menghalalkan yang haram bagi mereka dan mengharamkan yang halal atas mereka ―yaitu melaksanakan kekuasaan pembuatan hukum dan perundang-undangan― lalu orang-orang itu mengikuti mereka ?, lalu ia berkata : “Ya”, Rasulullah bersabda : “Maka itulah peribadatan mereka terhadap para ‘ulama dan para rahib itu”. Dalam Hadits ini terdapat penjelasan bahwa ketaatan orang-orang nashrani terhadap ‘alim ‘ulama dan para rahib mereka dalam pembuatan hukum adalah bentuk peribadatan kepada selain Allah dan syirik akbar yang mengeluarkan dari agama Islam. Oleh sebab itu Syaikhul Islam Muhammad ibnu Abdil Wahab rahimahullah membuat bab dalam kitabnya At-Tauhid Alladzi Huwa Haqqullohi ‘Alal ‘Abid untuk ayat ini dengan ucapannya : “Bahwa barang siapa mentaati para ‘ulama dan para pemimpin dalam pengharaman apa yang telah Allah halalkan dan penghalalan apa yang Allah telah haramkan, maka dia telah menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah”.
2.Di antara dalil yang jelas terhadap hal itu juga adalah apa yang di riwayatkan oleh Al-Hakim dan yang lainnya dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas tentang sebab turunnya firman Allah :
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” (Al-An’am: 121) : bahwa sejumlah orang dari kaum musyrikin membantah kaum muslimin karena sebab kaum muslimin tidak memakan bangkai, mereka berkata : “Seekor kambing mati di pagi hari siapa yang membunuhnya ?”, maka kaum muslimin menjawabnya : “Allah”. Kaum musyrikin berkata lagi : “Apa yang Allah bunuh atau apa yang di sembelih oleh Allah dengan pisau dari emas adalah haram ―mereka maksudkan bangkai― sedangkan hewan yang kalian sembelih dengan pisau dari besi adalah halal ??!”. Maka Allah Ta’ala menurunkan surat Al-An’am : 121 di atas.
Ini adalah hukum vonis yang tegas lagi jelas dari Sang Penguasa langit dan bumi, bahwa orang yang mengikuti undang-undang buatan walaupun dalam satu kasus atau dalam satu masalah maka dia itu musyrik terhadap Allah Subhanahu Wa Ta'ala lagi telah menjadikan tuhan pengatur selain Allah, walaupun dia tidak shalat atau sujud atau ruku’ terhadapnya, dan bahwa ketaatan dalam hukum adalah ibadah yang wajib mentauhidkannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan barangsiapa memalingkannya kepada selain Allah maka ia telah beribadah kepada selain Allah.
Bila kalian telah mengetahui hal ini dan telah nampak di hadapan kalian di antara kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang jelas lagi terang adalah menjadikan selain Allah sebagai pembuat hukum, sama saja baik si pembuat hukum ini ulama atau pengusasa atau wakil rakyat, atau kepala suku (adat), dan kalian mengetahui bahwa hukum Allah ta’ala telah menetapkan syirik dalam kitab-Nya, dimana Dia berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa’: 116).
Kemudian kalian mengetahui bahwa ayat 25 dari undang-undang dasar kalian menjelaskan bahwa : “Kekuasaan pembuatan hukum berada pada raja dan para anggota majelis umat”, dan pasal 24 menegaskan bahwa : “Rakyat menjalankan kekuasaannya sesuai dengan cara yang di atur dalam Undang Undang Dasar”.
Maka kalian mengetahui, bahwa setiap orang yang menerima Dien yang baru dan kekafiran yang nyata lagi menentang agama Allah ta’ala dan tauhid-Nya ini adalah telah menjadikan si pembuat hukum itu sebagai Arbaab (tuhan-tuhan) selain Allah yang dia sekutukan mereka itu bersama Allah dalam ibadahnya. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah ?” (Asy-Syuura : 21)
Dan Firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala :
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Al-Maa’idah: 50)
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam penafsiran ayat ini : “Allah ta’ala mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam (paten) yang meliputi segala kebaikan lagi melarang dari segala keburukan, dan dia malah berpaling kepada selain-Nya (yaitu) berupa; pendapat-pendapat dan hawa nafsu serta hukum-hukum yang dibuat oleh manusia tanpa sandaran dari syari’at Allah, sebagaimana orang-orang jahiliyah dahulu memutuskan dengan kesesatan-kesesatan dan kebodohan-kebodohan (yaitu hukum) yang mereka letakkan dengan fikiran dan hawa nafsu mereka, dan sebagaimana Tattar memutuskan dengan politik-polotik kerajaan yang diambil dari raja mereka Jenggis Khan yang membuatkan ilyasiq bagi mereka.
Dan ilyasiq itu adalah kitab hukum yang berisi kumpulan-kumpulan hukum yang dia kutip dari berbagai ajaran, yaitu Yahudi, Nashrani, agama Islam dan yang lainnya, serta di dalamnya terdapat banyak hukum yang dia ambil dari pandangan dan pikirannya semata, kemudian kitab itu ditengah anak keturunannya menjadi undang-undang yang diikuti, yang mereka kedepankan melebihi Kitab Allah dan Rasul-Nya, maka barangsiapa melakukan hal itu maka dia KAFIR, yang wajib diperangi sampai dia kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya, sehingga selain hukum-Nya tidak boleh di jadikan acuan dalam hal sedikit maupun banyak”.
Dan dari uraian yang telah lalu, engkau mengetahui hakekat perseteruan dan permusuhan antara kami dengan pemerintah ini, dan engkau mengetahui inti pertentangan antara ahli Tauhid dengan anshar dan aparat-aparat pemerintah tersebut. Jadi, pertikaian itu bukan untuk memperebutkan kursi atau jabatan atau tanah atau harta atau kedudukan sebagaimana yang diduga oleh banyak orang, dimana kamu melihat bahwa para pengikut Tauhid yang murni ini adalah tergolong orang yang paling jauh dari jabatan-jabatan di pemerintah ini, bahkan sesuatu yang paling dahulu mereka dakwahkan terhadap kamu bila mereka itu tulus dan bila kamu tergolong para pemegang jabatan-jabatan yang loyal lagi membela-bela kemusyrikan dan undang-undang serta para penganutnya ―baik kamu ini hakim atau penguasa atau intelejen atau aparat militer― adalah lari kepada Allah dengan meninggalkan jabatan-jabatan itu dan menjauhinya supaya bisa selamat dari kemusyrikan ini dan para penghusungnya, sehingga firman Allah ta’ala: “beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu” adalah jalan hidup mereka.
Dan begitu juga permusuhan tersebut bukanlah terhadap pengingkaran hal-hal furu’ (cabang-cabang) atau pembenahan hal-hal yang sifatnya parsial dalam realita yang rusak ini, seperti merusak bar, atau diskotik atau tempat-tempat maksiat lainnya. Dan barangsiapa mengira bahwa itu adalah inti, akar dan hakikat permusuhan antara kami dengan mereka, maka sesungguhnya orang itu tidak memahami hakikat dakwah para Rasul dan tidak mengetahui sebab perseteruan yang sebenarnya antara mereka dengan kaum-kaumnya, sehingga orang yang menyibukan diri dengan hal-hal itu adalah seperti orang yang menyibukan dirinya untuk mengobati luka-luka di badan yang terjangkit kanker yang akut lagi mematikan.
Perseteruan itu hai kaum… adalah lebih dasyhat dan jauh lebih besar dari hal itu, sesungguhnya perseteruan itu adalah dalam hal Tauhid dan Syirik, dalam hal kekafiran dan Iman, sesungguhnya ia adalah kekekalan di dalam surga atau dalam api neraka.
Sesungguhnya pemerintah kalian ini hai para hakim… dan pemerintah-pemerintah lainnya serta orang-orang yang mengikuti dan membela-bela mereka di atas kemusyrikan itu adalah telah menjadikan diri mereka sebagai Arbaab (tuhan-tuhan tandingan) bagi Allah ta’ala, mereka tidak mau kecuali menserikatkan diri dengan Allah dalam satu sifat yang mana ia termasuk sifat khusus ‘uluhiyyah-Nya yaitu tasyri’ (pembuat hukum/undang-undang), dimana mereka itu menjadikan kekuasaan pembuatan hukum/undang-undang ―sebagaimana yang ditegaskan oleh undang-undang dasar mereka― sebagai hak atau kewenangan bagi mereka dan bagi orang-orang yang mengikuti mereka diatas agama baru mereka “DEMOKRASI” ini, yang hakikat maknanya adalah “hukum rakyat untuk rakyat, bukan hukum Allah untuk rakyat”. Jadi rakyat, majelis rakyat, para wakil rakyat dan Presidennya adalah pemegang kekuasaan pembuat hukum dan perundang-undangan dalam agama yang telah dipilih oleh pemerintah kalian ini dan pemegang kekuasaan hukum dan perundang-undangan itu bukan Allah Yang Paling Bijaksana hukum-Nya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan…
“manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa ?” (Yusuf: 39)
dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala :
“Apakah Allah yang lebih baik, ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia ?” (An-Naml: 59).
Sesungguhnya kalian ini hai para hakim dan juga pemerintah kalian mengaku bahwa agama negara adalah Islam dan dalam waktu yang sama kalian memilih agama demokrasi yang kafir lagi baru ini sebagai sistem bagi pemerintahan. “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Ali-‘Imran : 83).
Sesungguhnya kalian dan pemerintah kalian mengaku Allah adalah Tuhan kalian, kalian shalat dan shaum karena-Nya, kemudian kalian memilih budak-budak dan makhluk ciptaan-Nya yang kalian sekutukan mereka itu dalam sifat paling khusus ‘uluhiyah Allah, yaitu pembuatan Hukum dan perundang-undangan !!!. “Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah !, tidakkah kamu mengerti ?” (Al-Anbiya’: 67)
Sesungguhnya kalian dan pemerintah kalian mengaku Al-Qur’an adalah kitab suci kalian, kemudian kalian malah meninggalkan dan berpaling dari hukum-hukum-Nya yang suci, serta kalian malah mengedepankan terhadapnya dan terhadap aturan-aturan Allah yang tinggi yaitu aturan Undang Undang Dasar, aturan undang-undang kalian yang amat hina.
Hukum yang berlaku lagi berjalan di sisi kalian di lembaga-lembaga hukum-hukum ini dan yang lainnya adalah bukan Hukum Allah Penguasa langit dan bumi yang ada dalam Kitab-Nya yang agung, akan tetapi hukum-hukum buatan tuhan-tuhan kalian yang beraneka ragam yang telah membuatkan bagi kalian dalam Undang Undang Dasar dan undang-undang kalian, ajaran atau hukum yang tidak di izinkan Allah…
Inilah berkas tuduhan inti kalian yang bisa kalian dapatkan ―bila kalian tidak taubat dari kemusyrikan kalian― secara rinci dalam kitab yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak pula yang besar melainkan ia mencatat semuanya, sedangkan tuduhan-tudahan lain selain hal itu, maka ia adalah cabang-cabang yang masuk di bawah kejahatan yang amat buruk ini, dan masing-masing dari kalian hai para aparat undang-undang buatan… Allah akan keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang di jumpainya terbuka “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu” (Al-Isra’: 14).
Dan vonis pidana syirik ini bukanlah hukuman mati bagi si penjahat kemudian dia bisa beristirahat di dalam kubur, akan tetapi ia adalah kekekalan yang abadi lagi selama-lamanya dalam neraka jahanam. “Mereka berseru :
“Hai (malaikat) Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja”. Dia menjawab : “Kamu akan tetap tinggal! (di neraka ini)”. Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu, tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu.” (Az-Zukhruf: 77-78)
Dan firman-Nya ta’ala:
“Dan orang-orang kafir (yang ingkar) bagi mereka neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya. Demikianlah kami membalas setiap orang yang sangat kafir. Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan”. Dan apakah kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun”. (Fathir : 36-37)
Dan saya tidak mengira kalian hai para hakim ―sedang kalian adalah tergolong orang yang paling mengetahui akan undang-undang dan hukum buatan bumi ini― tidak mengetahui status kejahatan yang amat berbahaya ini, yang mana Allah ta’ala dalam Kitab-Nya yang paling agung telah menetapkan bahwa ia adalah kejahatan yang paling besar yang dengannya Allah di durhakai. Dia Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan-Nya), dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisa’ : 48)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala :
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (Al-Maa’idah: 72)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala :
“Dan Sesungguhnya Telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu:
“Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar: 65)
Kami akan menghadirkan buat kamu sebuah contoh yang tidak kami mengambilnya jauh, karena contoh-contoh dari undang-undang pidana dan yang lainnya ―terhadap hukum-hukum buatan kalian yang bertentangan dengan aturan penguasa langit dan bumi― adalah banyak, dan kami telah merinci inti-inti pembahasan di dalamnya dan kami jelaskan bagaimana ia itu menghancurakn inti-inti ajaran samawi dan pokok-pokok yang karenanya syari’at itu di turunkan, di dalam kitab kami yang berjudul “Kasyfun Niqab An Syari’atil Ghab”, akan tetapi kami akan memberi satu contoh saja bagi kamu dari undang-undang lembaga hukum kalian yang dengannya kalian menyeret kami, dan itu sebagai tambahan dalam penegakan hujjah terhadap kalian, karena hujjah itu sebenarnya sangat jelas lagi telah tegak dalam Kitabullah,
yaitu : yaitu pasal 2/2 dari undang-undang bahan peledak no.12 tahun 1953 dan revisi-revisinya yang mana ia menegaskan bahwa : “Setiap orang yang ditemukan pada kepemilikannya atau ia memindahkan, atau menjual atau membeli bahan peledak tanpa izin dengan maksud menggunakannya pada cara yang tidak sah, maka ia di kenakan hukuman mati”.
Coba perhatikan hai para hakim ucapan tuhan pembuat hukum kalian “Tanpa Izin”, siapa orangnya yang membolehkan dan mengizinkan dan menghalalkan serta mengharamkan dalam ajaran kalian ?? Sesungguhnya ia bukanlah Allah, akan tetapi tuhan-tuhan para pembuat hukum yang beraneka ragam, sedangkan dalam syari’at kami yang agung yang bersifat samawi, Sang Pembuat hukum satu-satunya ─yang mengharamkan dan menghalalkan, yang membolehkan dan mengizinkan, serta yang menetapkan hukum dan tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya─ adalah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, sedangkan Allah telah mengizinkan kami, bahkan memerintahkan kami untuk mempersiapkan kekuatan dalam menghadapi musuh-musuh agama-Nya, Dia Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (Al-Anfal: 60).
Dan kata “kekuatan” dalam ayat yang agung ini datang dengan nakiroh (bersifat umum) agar mencakup seluruh macam kekuatan, baik itu bom atau bahan peledak, atau yang lainnya. Adapun dalam syari’at kalian dan agama kalian, maka tuhan-tuhan pembuat hukum kalian telah mensyari’atkan bagi kalian dalam pasal 2 dari undang-undang bahan peledak, bahwa kewenangan atau perizinan dalam ajaran kalian berada di tangan menteri pertahanan atau siapa saja yang di tunjuk untuk tujuan ini, dan ayat kedua dari pasal 3 dari undang-undang yang sama menegaskan bahwa :
“Tidak boleh bagi kewenangan perizinan memberikan kapan saja perizinan untuk membuat bahan peledak sebelum mengambil persetujuan kabinet…”
Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung dari atas langit-Nya memerintahkan dan menurunkan dalam syari’at-Nya yang suci dalam kitab-Nya yang paling Agung firman-Nya “dan siapkanlah”, sedangkan tuhan kalian yang beraneka ragam mensyari’atkan bagi kalian dalam kitab hukum bagi kalian ─yang hukum-hukumnya lebih kalian kedepankan daripada kitab Allah─ dimana mereka berkata tidak boleh dan tidak ada yang memberikan izin atau kebolehan dalam hal itu kecuali pihak-pihak yang telah di tetapkan oleh tuhan pembuat hukum kalian. “Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan dengan-Nya.” (An-Naml: 63).
Kemudian perhatikanlah ucapan tuhan pembuat hukum kalian dalam pasal tadi (dengan maksud menggunakannya pada cara yang tidak sah). Jadi, siapa yang berhak menentukan sesuatu itu sah atau tidak sah dalam ajaran kalian ?? Atau dengan makna lain yang lebih jelas; Siapakah tuhan sang pembuat hukum pada ajaran kalian dan menurut apa undang-undang itu di buat ??
Adapun pada ajaran kami orang orang yang bertauhid, maka seseungguhnya Tuhan Sang Pembuat Hukum yang menentukan sesuatu itu sah atau tidak sah adalah Allah Yang Maha Esa yang tempat bergantung hamba-hamba-Nya. Kami tidak menyekutukannya dalam hal itu seorangpun, karena tidak boleh dalam ajaran kami seseorang menyertai-Nya dalam hak itu, siapapun orangnya !! termasuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam makhluk yang paling mulia… beliau itu bukanlah pembuat hukum, namun beliau tidak lain adalah pemberi peringatan dan yang menyampaikan ajaran Sang Pembuat Hukum Yang Maha Esa.
Adapun pada ajaran kalian hai orang-orang musyrik ─hai orang yang menyekutukan bersama Allah dalam ibadah para pembuat hukum yang lain dan tuhan-tuhan yang beraneka ragam─ maka sudah di ketahui dari pasal 25 undang-undang dasar kalian bahwa tuhan-tuhan para pembuat hukum dalam agama kalian adalah raja dan para anggota majelis rakyat dan undang-undang mereka tidak dilaksanakan atau di berlakukan bila sesuai Undang Undang Dasar sebagaimana dalam pasal 24.
Oleh sebab itu maka sesungguhnya penggunaan bahan-bahan peledak ini dalam melawan Yahudi adalah di anggap dalam agama dan ajaran kalian sebagai penggunaan yang tidak sah terutama setelah pengakuan perdamaian antara pemerintahan kalian dengan pemerintah Israel, oleh karena itu sesungguhnya kalian memberikan hukuman saksi atas penggunaan ─yang sah dalam ajaran Allah, tapi haram dalam ajaran agama kalian─ ini dengan hukuman yang bisa sampai pada hukuman mati…
Allah ‘Azza wa Jalla Tuhan kami telah mensyari’atkan bagi kami penggunaan setiap macam kekuatan untuk melawan Yahudi dan musuh-musuh Allah yang lainnya, serta dia menetapkan pahala dan balasan yang baik atas hal itu, sedangkan tuhan-tuhan pembuat hukum kalian yang beraneka ragam telah menetapkan bagi kalian pengharaman penggunaannya melawan mereka, serta menetapkan atas hal itu hukuman mati bila kekuatan ini mengandung bahan peledak… “Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)? Bahkan sebenarnya kebanyakan dari mereka tidak mengetahui” (An-Naml : 61).
Allah Yang Maha Agung telah mensyari’atkan bagi kita lewat lisan Nabi-Nya Shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam Hadits shahih yang diriwayatkan Al-Bukhari bahwa : “Tidak halal darah orang yang sudah menikah kecuali dengan salah satu dari tiga hal : orang yang sudah menikah yang berzina, jiwa dibayar jiwa dan orang yang meninggalkan agamanya lagi meninggalkan jama’ah”. Sedangkan telah mensyari’atkan bagi kalian tuhan-tuhan pembuat hukum kalian aturan agama kalian sesuai pasal yang telah lalu, bahwa darah orang muslim yang bertauhid menjadi halal dalam selain tiga hal ini, dimana dia bisa di hukum mati bila memiliki bom atau bahan-bahan peledak untuk tujuan yang sah menurut Allah namun tidak sah menurut tuhan-tuhan pembuat hukum kalian…
Aturan Tuhan kami telah mensyari’atkan bagi kami dalam agama kami sebagaimana dalam hadits yang telah lalu membunuh orang yang telah pernah menikah yang berzina dan orang yang meninggalkan agama lagi meninggalkan jama’ah (murtad)… sedangkan kalian telah mensyari’atkan bagi kalian tuhan-tuhan pembuat hukum kalian dalam ajaran kalian untuk tidak membunuhnya, bahkan menjaga darahnya dan memutuskan baginya bebas bila zina itu dengan ridha si wanita dan si suami menarik haknya atau menggugurkan haknya serta ridha dengan keberlangsungan hidup rumah tangga… “Apakah di samping Allah ada tuhan yang lain ?, amat sedikitlah kamu mengingatnya” (An-Naml : 62).
Allah Tuhan kami telah mensyari’atkan bagi kami ─sebagaimana yang telah lalu─ untuk membunuh orang murtad atau orang yang memperolok-olok sebagian ajaran Islam atau orang yang menghina agama Allah atau agama Islam atau menghina Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam… sedangkan kalian telah menetapkan bagi kalian tuhan-tuhan pembuat hukum kalian untuk menjaga darah mereka karena undang-undang dasar dan hukum-hukum kalian menjamin kebebasan keyakinan secara mutlak, maka dalam syari’at dan agama kalian tidak ada satu pasalpun yang memberikan sanksi terhadap kemurtadan dan menganggapnya tindak pidana yang berhak diberi hukuman mati… Dan begitu juga orang yang menghina Allah atau agama ini, bila ia di hukumi maka dengan apa ia akan di vonis ?? dan mahkamah apa yang berwenang menangani tindakan pidana murtad ini ?? Padahal sesungguhnya dia dalam aturan Allah adalah orang murtad yang tidak ada baginya kecuali vonis mati.
Dan menjelaskan hukum Allah tentang undang-undang kalian dan menampakan hakikat para pembuat hukum kalian dan kedunguan, kerapuhan, serta kekontradiksian undang-undang kalian, penjelasan ini yang Allah tetapkan pahala terhadapnya dan Dia nilai sebagai ucapan yang paling baik :
“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”. (Fushshilat: 33).
Ini kalian menamakannya dalam agama dan hukum kalian sebagai hinaan dan sikap lancang sebagaimana para pendahulu kalian kaum musyrikin berkata tentang Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau menjelaskan kepalsuan tuhan-tuhan mereka dan tuhan-tuhan para pembuat hukum mereka : Dia menganggap bodoh pikiran kita, menghina nenek moyang kita dan mencela ajaran kita. “Dan mereka hendak berbuat jahat kepada Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi”. (Al-Anbiya’: 70)
Oleh sebab itu sesungguhnya kalian mengikuti jejak mereka, dimana kalian memberikan sanksi terhadap orang yang menasehati kalian agar meninggalkan undang-undang buatan yabg bathil ini dan dia menghati-hatikan darinya, serta mengajak manusia untuk berlepas diri dari tuhan-tuhan para pembuat hukum yang beraneka-ragam itu dan mengajak untuk mengikuti ajaran Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa, kalian memberikan sanksi dengan tuduhan (lancang) yang sanksinya dalam ajaran kalian bisa sampai 3 tahun penjara, sedangkan mahkamahnya adalah mahkamah militer…
Sedangkan orang-orang yang menghina Allah dan agama yang memenuhi jalan-jalan dan negeri maka tidak ada seorangpun yang mengawasi dan menegur mereka, dan bila terjadi dan mereka diawasi atau diberi sanksi, maka sanksi hal itu adalah sanksi yang tidak berarti yang kadang turun sampai satu bulan dan mahkamahnya juga adalah mahkamah sipil. “Apakah disamping Allah ada Tuhan yang lain ? katakanlah; unjukanlah bukti kebenaranmu jika kamu memang orang-orang yang benar”. (An-Naml: 54).
Dan begitulah sesungguhnya contoh-contoh hai para hakim dalam hal kemusyrikan yang nyata lagi jelas ini adalah banyak dan beraneka ragam dalam ajaran kalian yang kami berlepas diri di hadapan Allah darinya, dan yang dimaksud bukanlah menyebutkan seluruhnya di tempat yang sempit ini, akan tetapi dalam apa yang telah di sebutkan terdapat kadar yang cukup bagi orang yang menginginkan hidayah…
Bila kalian mengerti apa yang telah lalu, maka kalian mengetahui besarnya kejahatan yang kami ingkari tehadap kalian dan terhadap pemerintah kalian, dan bahwa kalian akan dihakimi atas dasarnya di hadapan Allah Hakim Yang Paling Adil, dan barangsiapa yang binasa dan jatuh di dalamnya, “maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya, dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya” (Al-Fajr : 25-26), karena ini adalah kejahatan yang diingkari oleh semua Rasul terhadap kaum mereka serta ia adalah dosa yang terbesar yang dengannya Allah didurhakai dalam kehidupan ini.
Dan darinya jelaslah bagi kalian kenapa kami menamakan kalian sebagai kaum musyrikin dan kenapa kami tidak berdiri sebagai penghormatan terhadap mahkamah-mahkamah syirik kalian serta kenapa kami mengatakan kepada kalian seperti apa yang di katakan oleh Ibrahim ‘alaihi sallam dan orang-orang yang bersamanya terhadap kaumnya :
“…Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalain sembah kalian selain Allah…” (Al-Mumtahanah: 4).
Kami berlepas diri dari tuhan-tuhan pembuat hukum kalian yang bermacam-macam lagi beraneka-ragam, berlepas diri dari undang-undang kalian, Undang Undang Dasar kalian, lembaga-lembaga hukum syirik kalian, dan para pengacara kalian yang berhakim kepada hukum dan Undang Undang Dasar yang kafir :
“…kami ingkari (kekafiran)kalian dan telah nyata antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja...” (Al-Mumtahanah: 4).
Sesungguhnya kami ─hai para hakim…─ hari ini berada di tangan kalian sebagai orang-orang yang tertawan, kalian menghakimi kami dengan atas nama thaghut kalian dan kalian memvonis kami dengan hukum dan undang-undang kalian, serta kalian menakut-nakuti kami dengan undang-undang kalian, penjara dan hukuman mati, padahal sesungguhnya kematian di jalan Allah adalah cita-cita kami tertinggi…
Dan kami mengingatkan kalian, bahwa kalian akan berdiri di hadapan Sang Penguasa langit dan bumi, sedangkan tidak ada penterjemah di antara kalian dengan Dia, kondisi yang dahsyat dan lebih genting serta menakutkan daripada kondisi ini.
“Lalu bagaimanakah kamu akan dapat menjaga dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yahg menjadikan anak-anak beruban?” (Al-Muzzammil : 17),
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala :
“Dan orang-orang kafir berkata: : “Kami sekali-kali tidak akan beriman kepada Al Quran ini dan tidak (pula) kepada Kitab yang sebelumnya”. Dan (alangkah hebatnya) kalau kamu lihat ketika orang-orang yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebagian dari mereka menghadap kan perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri :
“Kalau tidaklah karena kamu tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman”. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah:
“Kamikah yang telah menghalangi kamu dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepadamu? (Tidak), sebenarnya kamu sendirilah orang-orang yang berdos”. Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri :
“(Tidak) Sebenarnya tipu daya(mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya”.Kkedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab. dan kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir, mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (Saba: 31-33)
Ya… kalian akan berdiri di hadapan Sang Penguasa langit dan bumi, dan di hari itu sebagian kalian akan berlepas diri dari sebagian yang lain, sebagian kalian akan ingkar terhadap sebagian yang lain, dan sebagian kalian akan melaknat sebagian yang lain sebagaimana firman-Nya :
“Dan Berkata Ibrahim: "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia Ini Kemudian di hari kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kamu melaknati sebagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong.” (Al-‘Ankabut : 25)
Ya, di sana kalian akan mengingkari mereka dan berlepasan diri dari mereka, karena kalian mengetahui keberlepasan diri ini adalah ibadah dan ketaatan yang paling agung terhadap Allah yang tidak kalian realisasikan di dunia ini untuk mengumumkan keberlepasan diri kalian dari mahkamah-mahkamah dan undang-undang serta tuhan-tuhan para pembuat hukumnya :
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (
yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: : “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka”. (Al-Baqarah: 165-167)
Ya, kalian akan berangan-angan andai bisa kembali ke dunia, bukan untuk shalat atau shaum, akan tetapi untuk berlepas diri sebelum itu dari para pembuat hukum itu, undang-undang mereka dan lembaga-lembaga hukum mereka, karena saat itu kalian akan melihat langsung secara nyata bahwa shalat, shaum, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya tidaklah di terima kecuali dengan keberlepasan diri, yang mana ia adalah rukun pertama kalimat Tauhid (kafir kepada thaghut ).
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman tentang amalan-amalan shalih, zakat dan shaum kaum musyrikin pada hari itu :
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (Al-Furqan : 23)
Maka inilah kami sekarang mengajak kalian untuk berlepas diri darinya hari ini juga, sebelum kalian menyesal di saat tiada guna buat penyesalan, dimana hari itu tidak akan manfaat bagi kalian hai para hakim; pernyataan banding, atau pengacara, wakil atau penjamin bila pidana kalian itu adalah kemusyrikan yang besar ini, dan kejahatan ini tidak dalam cakupan amnesti dan kasasi.
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik (mempersekutukan sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisaa’: 116)
Sesungguhnya kami hai para hakim… demi Allah sangatlah kasihan terhadap diri kalian, karena jasad kalian ini tidak kuat menahan panasnya kobaran api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan, “dan kami jadikan neraka jahanam penjara bagi orang-orang yang kafir” (Al-Isra’: 8).
Sesungguhnya kami telah mengajak manusia kepada tauhid ini dan kami menghati-hatikan mereka dari kemusyrikan yang kalian dan tuhan-tuhan pembuat hukum kalian mengajak mereka itu kepadanya, sebagai bentuk keinginan kuat dari kami untuk menyelamatkan kalian dan mereka dari neraka ini, dan sebagai bentuk kepedulian dari kami untuk mengeluarkan kalian dari kegelapan-kegelapan syirik kepada cahaya Tauhid, dan dari peribadatan terhadap makhluk kepada peribadatan terhadap Sang Pencipta.
Kalian menghukumi kami atas nama raja kalian dan menyeret kami kepada undang-undang syirik kalian, sedangkan kami tidaklah menghakimi kalian kecuali dengan dengan nama Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung dan kepada syari’at Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
Kalian telah menyiksa kami dalam sel penahanan berbulan-bulan karena sebab dakwah yang agung ini, dan kalian mengintimidasi kami karena sebab tulisan-tulisan semacam ini, dan kalian mengancam saudara-saudara kami dengan perbuatan cabul serta menakut-nakuti mereka dengan mahkamah-mahkamah, undang-undang dan penjara-penjara kalian.
Sedangkan kami tidaklah menakut-nakuti kalian kecuali dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agungbdan dengan siksaan Jahanam. Jahanam itu ─demi Allah yang tidak ada Tuhan yang berhak di ibadati selain Dia─ tidaklah seperti sujuun (penjara-penjara) ini, sesungguhnya ia adalah sijjiin :
“Sesungguhnya kitab orang-orang yang durhaka tersimpan dalam sijjiin” (Al-Muthafifin: 7)
di hari kiamat didatangkan penduduk dunia yang paling sejahtera kemudian ia di celupkan sekali saja dalam neraka Jahanam, lalu dikatakan kepadanya:
“Maka pada hari itu tiada seorangpun yang menyiksa seperti siksa-Nya. Dan tiada seorangpun yang mengikat seperti ikatan-Nya.” (Al-Fajr : 25-26)
Sesungguhnya penyiksaan disana tidaklah seperti penyiksaan kalian atau seperti penyiksaan intelejen-intelejen kalian bagaimanapun yang dikatakan tentangnya.
Ya, sungguh telah berjatuhan kuku ikhwan kami karena sebab pemukulan dan penyiksaan, kulit-kulit mereka terkelupas karena gulungan yang berkali-kali, badan mereka bengkak-bengkak, janggut mereka di cabuti dan mereka di halangi dari tidur berhari-hari, dan semua itu di jalan Allah adalah ringan, dan tidak akan sia-sia Insya Allah… maka kami memohon kepada-Nya keikhlasan dan penerimaan…
Bila Allah ridha maka kami tidak peduli…
Apakah manusia ini bangkit atau sang penguasa marah…
Karena ridha Robby dan pembelaan dien-Nya…
Penjara menjadi indah dan kematian menjadi manis…
Akan tetapi kalian hai orang-orang miskin !!! apakah kalian kuat menahan penyiksaan akhirat yang kekal selama-lamanya ??
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, kelak akan kami masukkan mereka ke dalam neraka. setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa’: 56)
Hai para hakim… hai hafidh amin… jagalah dirimu dari api neraka dan selamatkanlah dirimu dari azab Allah karena disana tidak ada keselamatan dan tidak ada keamanan kecuali bagi orang-orang yang bertauhid.
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-An’am: 82)
Dan hakimilah dirimu sebelum dihakimi di bawah payung keadilan hukum-hukum dan timbangan yang suci, yang tidak curang dan tidak mengurangi sedikitpun dari amalan,
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Al-Zalzalah: 7-8)
Dan akhirnya mudah-mudahan dengan ungkapan ini Allah membuka qalbu-qalbu (hati) yang tertutup, mata-mata yang buta dan telinga-telinga yang tuli… Adapun vonis-vonis kalian maka demi Dzat Yang Menciptakan langit dan bumi, sesungguhnya kami tidak peduli dan ambil pusing dengannya, karena kami yakin bahwa kalian ini tidak memiliki sesuatupun buat diri kalian, apalagi kalian memiliki manfaat atau mudharat bagi kami, sesungguhnya urusan itu seluruhnya milik Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung saja sebelum dan sesudahnya, dan ia bukan milik kalian dan bukan pula milik tuhan-tuhan pembuat hukum kalian yang beraneka ragam…
“Dan Allah menghukum dengan keadilan, dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tiada dapat menghukum dengan sesuatu apapun. Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Mu’min: 20)
Jadi urusan itu bukanlah kembali kepada berita acara atau putusan kalian setelah keringnya apa yang ada di Lauh Mahfudz, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya kami menolong Rasul-Rasul kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat)” (Al-Mu’min: 51)
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala :
“Mereka berkata : “Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu Hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini saja. Sesungguhnya kami telah beriman kepada Tuhan kami, agar dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami melakukannya. dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (azab-Nya)”. (Thaha : 72-73)
Ini penyampaian saya buat kalian dan hari kebangkitan adalah saat kita bertemu. sedang di sisi Pemilik ‘Arsy, manusia akan mengetahui apa beritanya…
Salam sejahtera terhadap orang yang mengikuti petunjuk…
Ditulis oleh:
Asy-Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al-Maqdisiy
Penjara Sawaqah-Jordania, 28 Rabi ‘Ats-Tsani 1416 H
Selesai diterjemahkan oleh:
Abu Sulaiman Aman ‘Abdurrahman
Penjara Sukamiskin, 17 Sya’ban 1427 H
Kamis, 28 Januari 2010
Selasa, 26 Januari 2010
Koreksi Ilmiah Untuk Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin (Ulama KSA)
Bantahan Atas Pendapat Syaikh Al Utsaimin
Yang Mensyaratkan Istihlal Bagi Kafirnya Orang yang Mengganti Syariah Allah dengan Undang-Undang Positif
oleh : Syaikh Abu Bashir
Dengan nama Allah Yang Maha Pengaih lagi Maha penyayang
Segala puji bagi Allah Ta’ala. Shalawat dan salam teruntuk baginda Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam….
Ada sebuah pertanyaan dari seorang ikhwan yang ditujukan kepada saya. Dalam pertanyaan tersebut, penanya mengatakan :
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada beliau melalui telepon dengan mengatakan :
[ Adapun bila penguasa menetapkan undang-undang yang harus ditaati oleh rakyat, dan ia berpendapat bahwa undang-undang tersebut lebih membawa kebaikan bagi rakyatnya serta ia terkena kerancuan, maka ia tidak kafir karena banyak penguasa yang tidak mengerti ilmu syariah, sementara yang berhubungan dengan para penguasa tersebut adalah orang-orang yang tidak mengerti ilmu syar’i padahal mereka dipandang oleh para penguasa sebagai kaum ulama, akibatnya terjadinya penyelisihan terhadap syariat.
Namun jika penguasa mengerti hukum syariat, lalu ia tetap memutuskan persoalan dengan undang-undang yang ia tetapkan atau menjadikan undang-undang tersebut sebagai undang-undang dasar yang harus ditaati oleh rakyat, sementara ia masih meyakini dirinya telah berbuat dzalim ---dengan perbuatan itu--- dan ia masih meyakini bahwa kebenaran adalah apa yang termuat dalam Al Qur’an dan As Sunah, maka kita juga tidak bisa mengkafirkan penguasa ini."
Anda bisa melihat jawaban selengkapnya lewat internet dalam situs :
www.geocities.com/omer_khalid2002/002.htm
Apa koreksian anda terhadap jawaban beliau ini menurut aqidah ahlu sunah wal jama’ah dalam masalah iman dan kekafiran ???? Jazakumullah khairan.
Jawab :
Segala puji bagi Allah Ta’ala rabb semesta alam. Saya telah membaca fatwa syaikh Muhammad bin Shaolih Al-Utsaimin secara lengkap dalam situs yang ditunjukkan tersebut. Saya mendapati fatwa beliau seperti yang ditanyakan dalam soal tersebut di atas. Sebagai jawaban, maka saya katakan bahwa fatwa beliau bisa dibagi menjadi dua bagian :
[a]- Bagian yang benar, dimulai dari awal fatwa tersebut sampai perkataan beliau “ …Akibatnya terjadinya penyelisihan terhadap syariat."
[b]- Bagian yang salah dan menyelisihi kebenaran, yaitu sejak perkataan beliau “Namun jika penguasa mengerti hukum syariat …” sampai akhir.
Dalil-dalil yang menunjukkan pendapat kami yang sesuai dengan pendapat beliau (yaitu bagian yang benar) tidak perlu diungkapkan karena adanya kesamaan.
Karena itu saya hanya akan menerangkan dalil-dalil atas bagian yang kami tidak sepakat dengan syaikh Utsaimin dan kami yakini beliau salah dalam hal ini.
Penjelasannya sebagai berikut :
1-Penguasa yang menetapkan undang-undang yang menandingi syariat Allah Ta’ala ---sedang ia mengetahui hal itu ---, lantas ia menjadikan undang-undang tersebut sebagai undang-undang dasar yang wajib diikuti oleh rakyat…adalah penguasa yang telah kafir berdasar nash dan ijma’, ia termasuk thaghut yang paling besar dan berbahaya…seorang muslim tidak sewajarnya ragu-ragu dalam mengkafirkannya, disebabkan oleh banyak alasan, antara lain :
[a]- Menetapkan undang-undang merupakan hak khusus dan sifat khusus untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Barang siapa menjadikan hak ini untuk dirinya ---tanpa mengakui hak tersebut hak Allah atau mengakui hak tersebut adalah hak Allah --- berarti telah menjadikan dirinya sebagai tandingan bagi Allah dalam sifat-Nya yang paling khusus !!!
Allah Ta’ala berfirman :
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ
" Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak beribadah kepada selain Dia." [QS. Yusuf :40].
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
" Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selin Allah yang mensyareatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah." [QS.Asyu Syura :21].
Dalam ayat yang pertama, Allah Ta’ala menetapkan bahwa Allah sematalah yang mempunyai hak menetapkan undang-undang dan hukum, kemudian Allah meniadakan dari diri-Nya adanya sekutu dalam menetapkan hukum dan undang-undang. Allah Ta’ala juga menyebut orang-orang yang menetapkan undang-undang kepada rakyat tanpa seizin Allah sebagai sekutu dan tandingan bagi Allah !!!.
Syirik itu tidak disebutkan kecuali untuk sebuah bentuk penyerahan ibadah kepada selain Allah ta’ala…sekutu tidak disebut sekutu bagi Allah kecuali ketika ia mengira bahwa dirinya mempunyai hak yang sebenarnya menjadi hak Allah semata !!!
[b]- Allah Ta’ala telah menyebut orang-orang yang membuat undang-undang selain hukum Allah sebagai arbab (tuhan-tuhan selain Allah). Allah Ta'ala juga menyebut rakyat yang mentaati undang-undang dan ketetapan para penguasa yang menghalalkan dan mengharamkan [tanpa izin Allah, menyelisihi hukum Allah Ta'ala] sebagai penyembah arbab [tuhan-tuhan selain Allah ta'ala] tersebut. Sebagaimana firman-Nya :
اِتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَ رُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ
" Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab [tuhan-tuhan selain Allah Ta'ala]." (QS. At Taubah : 31 ).
Nabi telah menafsirkan ayat "mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah" dengan makna ; rakyat mentaati undang-undang pendeta yang menghalalkan dan mengharamkan tanpa izin Allah dan menyelisihi hukum Allah.
[c]- Uluhiyah (pengakuan sebagai tuhan yang berhak diibadahi) Fir’aun dan para thaghut lainnya merupakan uluhiyah dalam arti menyatakan dirinya berhak menetapkan undang-undang, bahwa mereka sajalah penguasa tunggal tempat kembalinya segala persoalan, sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang si tirani Fir’aun ;
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا اْلمَلأُ مَا عَلِمْتُ لَكْمِ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي
" Fir'aun berkata kepada para pembesar kaumnya ; Wahai para pemuka kaumku, aku tidak mengetahui Ilah bagi kalian selain diriku." [QS. Al Qashash ;38].
Maknanya aku tidak mengetahui kalian mempunyai penguasa, penetap hukum, penetap undang-undang dan tempat kembali dalam mengembalikan seluruh urusan kehidupan kalian selain diriku. Makna ini secara tegas telah dinyatakan oleh fir’aun sendiri dalam firman Allah Ta’ala :
مَا أُرِيكُمْ إِلاَّ مَا أَرَى وَمَا أَهْدِيكُمِ إِلاَّ سَبِيْلَ الرَّشَادِ
" Aku tidak mengemukakan kepada kalian kecuali apa yang menurutku baik, dan aku tidak menunjukkan kalian kecuali kepada jalan yang benar." [QS. Ghafir :29].
Allah juga berfirman :
وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُوْنِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِيْنَ
" Dan barang siapa di antara mereka mengatakan," Aku adalah Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah, maka Kami membalasnya dengan Jahanam dan sesungguhnya demikianlah Kami membalas orang-orang yang dzalim."
Barang siapa menyatakan dirinya adalah penetap hukum atau berhak menetapkan hukum dan rakyat berkewajiban mentaati hukum yang ia tetapkan, berarti telah menjadikan dirinya sebagai Ilah (tuhan yang berhak diibadahi) dan mengaku dirinya mempunyai hak uluhiyah, baik ia tahu maupun tidak…baik ia menamakan hal itu sebagai uluhiyah dan rububiyah maupun tidak !!!!
[c]- Kekafiran penguasa jenis ini telah dinyatakan seluruh ulama Islam dahulu dan sekarang, tidak ada yang meragukan kekafiran dan kesyirikan mereka kecuali orang yang telah dipadamkan bashirahnya dan dibutakan hatinya oleh Allah dari cahaya wahyu Allah, sebagaimana dikatakan oleh syaikh Asy Syanqithi dalam menafsirkan ayat :
وَلاَ يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
" Dan Allah tidak mengambil seorang-pun sebagai sekutu-Nya dalam menetapkan hukum." [QS. Al Kahfi : 26].
Imam Ibnu Katsir ketika mengomentari hukum Ilyasiq bangsa Tartar mengatakan :
“ Barang siapa melakukan hal itu maka ia telah kafir berdasar ijma’ umat Islam.’
Sekiranya kita ingin menyebutkan secara panjang lebar perkataan para ulama dalam masalah ini tentulah akan memakan banyak ruang, sampai satu buku-pun tidak cukup !!!
[d]- Penguasa yang menetapkan undang-undang ini telah disebut oleh Allah sebagai thaghut, sementara keimanan seseorang tidak akan benar tanpa adanya sikap kufur kepada thaghut, sebagaimana firman Allah :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيْدًا
" Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." [QS. An Nisa ' : 60].
2-Pendapat syaikh Utsaimin bahwa bila penguasa tersebut menetapkan undang-undang yang wajib ditaati oleh rakyat, namun ia masih meyakini perbuatannya sebagai sebuah kedzaliman dan dosa, dan ia masih meyakini bahwa hukum yang benar adalah hukum Al Qur’an dan as sunah ; maka kita tidak bisa mengkafirkan penguasa ini…pendapat ini merupakan sebuah pendapat yang salah besar. Pendapat ini kami bantah dari dua segi:
[a]- Syarat takfir (jatuhnya vonis kafir) yang beliau sebutkan ini merupakan syarat lamunan yang tidak ada realitanya dalam kehidupan manusia. Tak seorang pun melakukannya, tak seorangpun akan menyatakannya, bahkan tak seorangpun kecuali meyakini undang-undang dasar dan hukum ketetapannya merupakan hukum yang paling baik, sebagai hukum ideal yang merealisasikan kebaikan dari segala aspek, sebagai kebenaran yang harus diikuti rakyat, selainnya adalah salah !!!! Sekalipun secara lisan ia tidak menyatakan hal ini, namun perbuatannya menunjukkan ini semua !!!
Tolong datangkan kepada saya seorang penetap undang-undang/legislatif ---sepanjang sejarah sampai hari ini--- yang mengakui bahwa dirinya dzalim atau ia menetapkan kedzaliman kepada rakyatnya…yang mengakui bahwa undang-undang selain yang ia tetapkan adalah benar dan undang-undang yang ia tetapkan salah. Tidak akan ada !!!
Karena itu pernyataan “jika ia meyakini bahwa ia dzalim” merupakan sebuah kerancuan…selain itu juga menunda hukum Allah Ta’ala untuk menghukumi para penguasa thaghut tersebut.
[b]- Tarohlah kita dapati ada yang mau mengakui bahwa dirinya dzalim dalam undang-undang yang ia tetapkan bagi rakyat, dzalim dalam menyatakan dirinya mempunyai hak rububiyah dan uluhiyah. Apa manfaat pengakuan ini baginya ????
Permisalan dirinya bagaikan orang yang mengatakan saya Ilah (tuhan), manusia wajib mentaati dan beribadah kepadaku, namun ia juga meyakini bahwa ia berbuat dzalim dengan pengakuannya ini. Apa manfaat keyakinannya ini bila ia sendiri telah melakukan kekafiran yang sangat nyata ????
Kaum Yahudi meyakini nabi Muhammad itu benar, ajaran yang ia bawa dari Allah adalah benar, mereka dzalim dengan permusuhan mereka kepada beliau, meski begitu, hal ini tidak memberi mereka manfaat sedikitpun karena mereka tidaka mengikuti beliau, tidak ridha dengan hukum dan syariat beliau, maka kaum yahudi telah kafir berdasar nash dan ijma’ !!!!
Saya sebutkan di sini terlalu mudahnya sebagian ikhwan di jazirah Arab dalam menggunakan kata sambung “tsumma (kemudian / lalu)” yang tersebut dalam sabda Rasulullah “ ma syaa Allahu tsumma maa syi’ta (terserah Allah, kemudian terserah anda)..mereka memakainya untuk hal yang tidak benar. Anda melihat mereka memakainya dalam hal-hal yang sebenarnya kesyirikan tanpa sepengetahuan mereka, hanya karena mereka mengira bahwa kalimat “kemudian” berlaku bagi mereka dalam segala hal, dalam setiap ungkapan, sebagaimana perkataan salah seorang mereka “Saya berwala’ kepada Allah, kemudian kepada fulan.” " Saya mentaati Allah kemudian mentaati fulan." " Saya berperang di jalan Allah kemudian di jalan fulan." Ini sama nilainya dengan ia mengatakan,” Saya beribadah kepada Allah kemudian kepada fulan.”
Demikian juga, saya melihat beberapa ulama telah terlalu mudah memakai syarat “mengakui kedzliman ”, mereka menganggap syarat ini sudah bisa menjadi udzur bagi orang yang mengakui dirinya sebagai Ilah (tuhan yang berhak diibadahi) dengan syarat ia mengakui dengan pernyataan itu ia telah berbuat dzalim, dengan demikian ia tidak bisa dikafirkan !!!!
3-Kami bertanya kepada syaikh ---beliau telah meninggal, rahimahullah---bagaimana kita bisa mengkompromikan antara keyakinan si penguasa tersebut bahwa ia telah dzalim, bahwa hukum Al Qur’an dan As Sunah adalah kebenaran, selainnya adalah batil, ia wajib memutuskan perkara dengan kitabullah dan sunah rasul-Nya…..(bagaimana kita mengompromikan pengakuan ini dengan kenyataan bahwa ) lalu ia tidak memutuskan dengan Al Qur’an dan As sunah, bahkan justru memerintah rakyat dengan undang-undang yang ia tetapkan sendiri yang menandingi syariatAllah, ia jadikan sebagai undang-undang dasar yang wajib ditaati oleh rakyat. Bagaimana hal ini bisa kita kompromikan dengan aqidah ahlu sunah wal jama’ah yang menyatakan bahwa iman adalah keyakinan, ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang… bahwa antara lahir dan batin ada hubungan yang sangat erat, masing-masing ikut mempengaruhi dan terpengaruh oleh yang lain…sebagaimana tersebut dalam banyak nash Al Qur’an dan As Sunah ????
Bagaimana kita mengkompromikan antara batin penguasa tersebut yang bersih, beriman, mencintai Allah dan syariat-Nya…dengan lahirnya yang menentang syariat dan hukum Allah ???? Bagaimana kita bisa mengkompromikan antara batinnya yang mengatakan bahwa dirinya adalah hamba Allah dengan lahirnya yang mengatakan bahwa dirinya adalah tandingan bagi Allah ???? Ataukah batinnya berjalan ke suatu arah dan lahirnya berjalan ke arah yang berlawanan ????
Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa salam telah bersabda ;
إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَ إِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ
أَلاَ وَهِيَ اْلقَلْبُ
" Di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh anggota tubuh lain akan baik dan jika ia buruk, maka seluruh anggota tubuh lain akan buruk. Itulah hati.”
4-Syaikh Utsaimin tidak mempunyai seorang ulama salafpun yang pernah berpendapat seperti pendapat beliau dan saya harap dalam kasus ini tidak digunakan pendapat Ibnu Abbas “ kufrun duna kufrin”, karena pendapat Ibnu Abbas berada di sebuah lembah, sementara pendapat syaikh Ibnu Utsaimin berada di lembah lain yang berbeda. Saya tidak pernah melihat ada pendapat ulama salafu sholih yang didzalimi melebihi pendapat Ibnu Abbas ini “kufrun duna kufrin”
5-Jika penguasa yang mengaku dirinya sebagai Ilah, menetapkan undang-undang dan mengganti syariat dan dien Allah dengan undang-undang positif ini ; tidak kafir, lantas siapa orang yang kafir itu ? ??? Kapan penguasa menjadi kafir ???
Setelah menyatakan tidak kafirnya penguasa yang menetapkan undang-undang positif dan mengganti syariat Allah dengan undang-undang positif, Syaikh Utsaimin menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan :
“ Penguasa yang kafir hanyalah penguasa yang berpendapat bahwa hukum selain Allah lebih baik bagi manusia daripada hukum Allah, atau hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah. Penguasa yang seperti ini telah kafir karena ia telah mendustakan firman Allah Ta’ala :
أَ لَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ
" Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya ?" [QS. At Tiin ;8]
Saya katakan :
“ Pembatasan seperti ini adalah pembatasan yang batil, sudah diketahui kebatilannya dalam dien kita secara sangat jelas. Maknanya syaikh Utsaimin tidak mengkafirkan penguasa kecuali penguasa yang berpendapat bahwa undang-undang positifnya lebih baik atau sama baik dengan hukum Allah, karena ia telah mendustakan (takdzib)…itu saja !!!
Kami hendak bertanya :
Jika yang mendorong penguasa untuk memutuskan dengan selain hukum Allah adalah kebencian kepada dien Allah dan hukum-hukum syariat-Nya, tanpa disertai sikap mendustakan, maka penguasa seperti ini menurut anda tidak kafir ??? Apakah penguasa seperti ini menurut anda penguasa yang beriman ???
Jika anda menjawab ya, ia penguasa yang beriman ---mau tak mau anda harus menjawab demikian---, anda bawa ke mana makna firman Allah Ta’ala (artinya) :
"Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka membenci apa yang Allah turunkan ( Al Qur'an), maka Allah menghapuskan (pahala) amal-amal mereka." [QS. Muhammad : 9].
Dan firman-Nya (artinya):
" Sesungguhnya orang-orang yang kembali kafir (murtad) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah berbuat dosa dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu disebabkan mereka mengatakan kepada orang-orang yang membenci apa yang Allah turunkan (Al Qur'an)," Kami akan mentaati kalian dalam sebagian urusan." [QS. Muhammad : 25-26].
Jika orang-orang yang mengatakan kepada orang-orang membenci hukum Allah “ Kami akan mentaati kalian dalam sebagian urusan” ---bukan dalam seluruh urusan---- telah murtad dan kafir, maka apa pendapat anda terhadap orang-orang yang membenci hukum Allah tersebut ???? Tak diragukan lagi, mereka lebih pantas murtad dan kafir.
Jika yang mendorong penguasa ini untuk memutuskan perkara dengan selain hokum Allah adalah rasa dengki, permusuhan dan kebencian kepada Allah, Rasulullah dan kaum beriman ----bukan mendustakan----, apakah menurut anda ia tidak kafir ????
Jika yang mendorong penguasa ini untuk memutuskan perkara dengan selain hukum Allah adalah kesombongan dan kecongkakan terhadap hukum-hukum dan syariat Allah, bukan mendustakan, apakah menurut anda ia tidak kafir ????
Jika yang mendorong penguasa ini untuk memutuskan perkara dengan selain hukum Allah adalah loyalitas kepada kaum Yahudi dan nasrani, demi mencari keridhaan kaum Yahudi dan nasrani kepada hukum positif yang ia tetapkan dan pemerintahannya, apakah menurut anda ia tidak kafir ????
Jika ia menjadikan dirinya sebagai Ilah yang menetapkan undang-undang yang menyelisihi dan menyaingi hokum Allah, lalu ia memaksa rakyat untuk mentaati undang-undang tersebut, apakah menurut anda ia tidak kafir sampai ia mengucapkan kalimat mendustakan ????
Saya katakan :
Seluruh penguasa yang sifatnya baru saja saya sebutkan tadi adalah penguasa yang kafir akbar, keluar dari Islam berdasar nash dan ijma’, tidak boleh ragu-ragu dalam mengkafirkan mereka. Kalaulah tidak karena takut akan panjang lebar dan keterbatasan ruang, tentulah kekafiran masing-masing penguasa yang baru saja saya sebutkan ini akan saya jelaskan secara rinci dengan dalil-dalil syar’i dan perkataan para ulama salafu sholih.1
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh2 rahimahullah telah menyebutkan enam golongan penguasa yang kafir keluar dari Islam3, kenapa syaikh Utsaimin hanya membatasinya dalam satu atau dua golongan saja ????
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh rahimahullah telah menyebut mereka sebagai pentolan-pentolan thaghut, kenapa para ulama sekarang justru menganggap mereka sebagai orang-orang beriman dan bertauhid, kenapa para ulama sekarang justru banyak berdebat untuk membela penguasa-penguasa tersebut ???
Kenapa pendapat syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tidak disebutkan ketika membahas masalah penting ini, padahal beliau telah membahas tuntas masalah ini ???? Ataukah nama beliau sekedar untuk mencari berkah ??? Ataukah perkataan beliau yang benar tidak membuat ridha para thaghut dan tidak memenuhi hasrat dan keinginan para politikus zaman sekarang ????
6- Termasuk perkataan syaikh Utsaimin yang patut dikritisi adalah perkatan beliau dalam fatwa tersebut :
“ Takfir merupakan sebuah masalah yang besar, tidak sewajarnya membicarakan masalah ini kecuali kepada para pelajar yang memahami dan mengerti makna dan konskuensi dari adanya penjatuhan vonis kafir maupun vonis belum kafir. Adapun masyarakat umum, maka membicarakan masalah telah jatuhnya vonis kafir (takfir) atau belum jatuhnya vonis kafir dalam masalah-masalah seperti ini akan mendatangkan banyak kerusakan.
Saya berpendapat, pertama; janganlah para pemuda disibukkan dengan permasalahan seperti ini, permasalahan apakah penguasa telah kafir atau belum ??? Permasalahan bolehkan memberontak atau tidak ???. Hendaklah para pemuda memperhatikan ibadah yang Allah wajibkan atau sunahkan kepada mereka !!!!
Saya katakan :
Kami tidak bisa membenarkan pendapat syaikh Utsaimin ini, kami mengkritisi perkataan beliau ini dalam beberapa point berikut :
[a]- Mengkafirkan thaghut, bara’ (berlepas diri dan menyatakan permusuhan) terhadap mereka, terhadap dien mereka, terhadap kekafiran dan kesyirikan mereka, merupakan ajaran dien Islam, bahkan merupakan ajaran dan perintah dien yang paling agung. Dien seseorang tidak akan lurus dan tidak akan sah sebelum kufur kepada thaghut, sebelum mengkafirkan dan bara’ terhadap thaghut, sebagaimana ditujukkan oleh syahadat tauhid, dan puluhan dalil lain dari Al Qur’an dan As Sunah !!!
Jika persoalannya demikian, maka kalangan umum tidak boleh dihalangi dari mengetahui perkara ini…atau pengetahuan tentang masalah ini dikhususkan bagi para pelajar saja seperti yang diinginkan oleh syaikh Utsaimin. Dien ---seluruh dien, terkhusus lagi tauhid---untuk semua orang…diberikan kepada semua orang, tidak seorangpun dihalangi untuk mengetahuinya. Bukan termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam menghalangi penyampaian ilmu kepada masyarakat, sehingga diberikan kepada sebagian orang dan tidak boleh diberikan kepada sebagian lainnya…hanya karena takut terjadinya kerusakan yang sebenarnya fiktif !!!!
Bahkan kerusakan yang sebenarnya adalah ketika masyarakat tidak mengetahui dien dan tauhid …adalah ketika mereka tidak mengetahui jalan para pendosa dan jalan para penguasa kafir dan thaghut….sehingga menyebabkan mereka berwala’ kepada para thaghut dan terjatuh dalam jurang kesyirikan tanpa mereka sadari….sebagaimana terjadi pada banyak masyarakat pada zaman sekarang !!!!
Dien yang mengandung sebagian ajaran yang hanya boleh diketahui oleh segelintir orang…sementara sebagian ajaran lainnya boleh diketahui oleh kalangan umum…adalah agama sekte sesat Qaramithah Bathiniyah yang takut kalau diri mereka dan kekafiran mereka diketahui oleh pengikut-pengikutnya…sehingga mereka menutup-nutupi akidah dan pemikiran mereka dari pengikut-pengikut awam mereka. Mereka tidak menampakkannya kecuali kepada pengikut tertentu mereka yang mereka percayai tingkat loyalitas dan kemampuannya dalam memahami istilah dan sandi-sandi mereka. Dien kita ---wal hamdu lillahi---berlepas diri dari hal itu !!!
Kalau syaikh Utsaimin mengatakan : kami menasehati kaum muslimin untuk tidak banyak memperbincangkan kekafiran yang masih kemungkinan dan mutasyabih (samar), kekafiran yang belum jelas dan tegas…karena kondisi seperti itu diserahkan kepada para para ulama spesialis dan ulama mujtahid untuk menjelaskan secara tegas…kalau syaikh Utsaimin mengatakan demikian tentulah perkataan beliau benar…tetapi tak sedikitpun fatwa syaikh Utsaimin menunjukkan hal ini !!!
[b]- Syaikh Utsaimin melarang para pemuda menyibukkan diri dengan mengkafirkan para thaghut, mengetahui penguasa mana yang telah kafir dan penguasa mana yang belum kafir, siapa yang boleh diberontak dan siapa yang tidak boleh diberontak. Syaikh Utsaimin menasehati mereka untuk memperhatikan hal-hal yang Allah wajibkan atau sunahkan kepada mereka. Ini artinya mengkafirkan para thaghut kafir dan murtad yang menguasai umat Islam dengan semena-mena bukan termasuk hal yang Allah wajibkan atau Allah Ta’ala sunahkan kepada mereka. Jelas ini sebuah kesalahan fatal dan bertentangan dengan puluhan nash Al Qur’an dan As Sunah yang mewajibkan kufur kepada thaghut dan berlepas diri darinya. Kami sebetulnya berharap syaikh Utsaimin tidak terjatuh dalam kesalahan seperti ini.
Lalu bagaimana kita akan mengkompromikan fatwa syaikh Utsaimin ini dengan praktek dari firman Allah Ta’ala (artinya);
" Dan demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat Al Qur'an (supaya jelas jalan orang-orang yang shaleh) dan supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa." [QS. Al An'am ;55].
[c]- Siapa yang mengambil keuntungan dari nasehat dan arahan syaikh Ustaimi yang mewajibkan para pemuda Islam untuk tidak mengetahui realita kehidupan mereka ini…realita para pemerintah thaghut yang memerintah mereka dengan undang-undang thaghut dan kafir ????
Siapa yang mengambil keuntungan ketika para pemuda Islam tidak mengetahui hukum Allah berkenaan dengan realita mereka dan realita para pemerintah thaghut tersebut ???
Siapa yang mengambil keuntungan ketika para pemuda Islam tidak mengetahui jalan orang-orang yang berdosa…sehingga mereka tidak bisa membedakan antara jalan orang-orang yang berdosa dengan jalan kaum beriman dan bertauhid ???? Sehingga mereka tidak bisa membedakan orang yang seharusnya mendapatkan loyalitas mereka dengan orang yang seharusnya mendapatkan bara’ (kebencian dan permusuhan) mereka ????
Tidak diragukan lagi…yang pertama kali dan terakhir kali meraih keuntungan adalah para pemerintah thaghut…para politikus penguasa penumpah darah ….yang meraih keuntungan adalah pemerintah kafir yang berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin !!!.
Kami jelaskan demikian, sekalipun kami juga meyakini nasehat syaikh Utsaimin sebenarnya tidak bermaksud sejauh ini. Namun nasehat syaikh Utsamin ini, tanpa sepengetahuan dan sekehendak beliau …telah memberi keuntungan kepada orang-orang yang baru saja saya sebutkan.
Karena berkumpulnya sebab-sebab inilah, saya meyakini syaikh Ustaimin rahimahullah telah terjatuh dalam kesalahan dalam hal-hal yang telah saya sebutkan, dan kesalahan beliau ini tidak boleh diikuti. Wallahu Ta’ala A’lam.
Jika saya heran (dengan ketergelinciran syaikh Utsaimin ini), maka saya lebih sangat heran lagi dengan sebagian orang yang mencari-cari ketergelinciran dan kesalahan para ulama untuk dijadikan alasan mengambil rukhsah atas kesesatan, penyelewengan dan pemahaman mereka yang salah…untuk dijadikan –huruf per huruf--- sebagai senjata dalam memerangi dan membantah kelompok lain….seakan ketergelinciran dan kesalahan para ulama adalah Al Qur’an yang tidak boleh dikritisi dan dibantah. Laa haula wa laa quwwata illa billahi.
Demikian koreksian yang bisa saya sampaikan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada saya. Sebagai penutup, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.
Abdul Mun’im Musthafa Halimah / 29/11/1421 H
Abu Bashiir 22/2/2001 M
Yang Mensyaratkan Istihlal Bagi Kafirnya Orang yang Mengganti Syariah Allah dengan Undang-Undang Positif
oleh : Syaikh Abu Bashir
Dengan nama Allah Yang Maha Pengaih lagi Maha penyayang
Segala puji bagi Allah Ta’ala. Shalawat dan salam teruntuk baginda Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam….
Ada sebuah pertanyaan dari seorang ikhwan yang ditujukan kepada saya. Dalam pertanyaan tersebut, penanya mengatakan :
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjawab sebuah pertanyaan yang ditujukan kepada beliau melalui telepon dengan mengatakan :
[ Adapun bila penguasa menetapkan undang-undang yang harus ditaati oleh rakyat, dan ia berpendapat bahwa undang-undang tersebut lebih membawa kebaikan bagi rakyatnya serta ia terkena kerancuan, maka ia tidak kafir karena banyak penguasa yang tidak mengerti ilmu syariah, sementara yang berhubungan dengan para penguasa tersebut adalah orang-orang yang tidak mengerti ilmu syar’i padahal mereka dipandang oleh para penguasa sebagai kaum ulama, akibatnya terjadinya penyelisihan terhadap syariat.
Namun jika penguasa mengerti hukum syariat, lalu ia tetap memutuskan persoalan dengan undang-undang yang ia tetapkan atau menjadikan undang-undang tersebut sebagai undang-undang dasar yang harus ditaati oleh rakyat, sementara ia masih meyakini dirinya telah berbuat dzalim ---dengan perbuatan itu--- dan ia masih meyakini bahwa kebenaran adalah apa yang termuat dalam Al Qur’an dan As Sunah, maka kita juga tidak bisa mengkafirkan penguasa ini."
Anda bisa melihat jawaban selengkapnya lewat internet dalam situs :
www.geocities.com/omer_khalid2002/002.htm
Apa koreksian anda terhadap jawaban beliau ini menurut aqidah ahlu sunah wal jama’ah dalam masalah iman dan kekafiran ???? Jazakumullah khairan.
Jawab :
Segala puji bagi Allah Ta’ala rabb semesta alam. Saya telah membaca fatwa syaikh Muhammad bin Shaolih Al-Utsaimin secara lengkap dalam situs yang ditunjukkan tersebut. Saya mendapati fatwa beliau seperti yang ditanyakan dalam soal tersebut di atas. Sebagai jawaban, maka saya katakan bahwa fatwa beliau bisa dibagi menjadi dua bagian :
[a]- Bagian yang benar, dimulai dari awal fatwa tersebut sampai perkataan beliau “ …Akibatnya terjadinya penyelisihan terhadap syariat."
[b]- Bagian yang salah dan menyelisihi kebenaran, yaitu sejak perkataan beliau “Namun jika penguasa mengerti hukum syariat …” sampai akhir.
Dalil-dalil yang menunjukkan pendapat kami yang sesuai dengan pendapat beliau (yaitu bagian yang benar) tidak perlu diungkapkan karena adanya kesamaan.
Karena itu saya hanya akan menerangkan dalil-dalil atas bagian yang kami tidak sepakat dengan syaikh Utsaimin dan kami yakini beliau salah dalam hal ini.
Penjelasannya sebagai berikut :
1-Penguasa yang menetapkan undang-undang yang menandingi syariat Allah Ta’ala ---sedang ia mengetahui hal itu ---, lantas ia menjadikan undang-undang tersebut sebagai undang-undang dasar yang wajib diikuti oleh rakyat…adalah penguasa yang telah kafir berdasar nash dan ijma’, ia termasuk thaghut yang paling besar dan berbahaya…seorang muslim tidak sewajarnya ragu-ragu dalam mengkafirkannya, disebabkan oleh banyak alasan, antara lain :
[a]- Menetapkan undang-undang merupakan hak khusus dan sifat khusus untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Barang siapa menjadikan hak ini untuk dirinya ---tanpa mengakui hak tersebut hak Allah atau mengakui hak tersebut adalah hak Allah --- berarti telah menjadikan dirinya sebagai tandingan bagi Allah dalam sifat-Nya yang paling khusus !!!
Allah Ta’ala berfirman :
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ أَمَرَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ
" Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kalian tidak beribadah kepada selain Dia." [QS. Yusuf :40].
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
" Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selin Allah yang mensyareatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah." [QS.Asyu Syura :21].
Dalam ayat yang pertama, Allah Ta’ala menetapkan bahwa Allah sematalah yang mempunyai hak menetapkan undang-undang dan hukum, kemudian Allah meniadakan dari diri-Nya adanya sekutu dalam menetapkan hukum dan undang-undang. Allah Ta’ala juga menyebut orang-orang yang menetapkan undang-undang kepada rakyat tanpa seizin Allah sebagai sekutu dan tandingan bagi Allah !!!.
Syirik itu tidak disebutkan kecuali untuk sebuah bentuk penyerahan ibadah kepada selain Allah ta’ala…sekutu tidak disebut sekutu bagi Allah kecuali ketika ia mengira bahwa dirinya mempunyai hak yang sebenarnya menjadi hak Allah semata !!!
[b]- Allah Ta’ala telah menyebut orang-orang yang membuat undang-undang selain hukum Allah sebagai arbab (tuhan-tuhan selain Allah). Allah Ta'ala juga menyebut rakyat yang mentaati undang-undang dan ketetapan para penguasa yang menghalalkan dan mengharamkan [tanpa izin Allah, menyelisihi hukum Allah Ta'ala] sebagai penyembah arbab [tuhan-tuhan selain Allah ta'ala] tersebut. Sebagaimana firman-Nya :
اِتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَ رُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللهِ
" Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab [tuhan-tuhan selain Allah Ta'ala]." (QS. At Taubah : 31 ).
Nabi telah menafsirkan ayat "mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah" dengan makna ; rakyat mentaati undang-undang pendeta yang menghalalkan dan mengharamkan tanpa izin Allah dan menyelisihi hukum Allah.
[c]- Uluhiyah (pengakuan sebagai tuhan yang berhak diibadahi) Fir’aun dan para thaghut lainnya merupakan uluhiyah dalam arti menyatakan dirinya berhak menetapkan undang-undang, bahwa mereka sajalah penguasa tunggal tempat kembalinya segala persoalan, sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang si tirani Fir’aun ;
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا اْلمَلأُ مَا عَلِمْتُ لَكْمِ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي
" Fir'aun berkata kepada para pembesar kaumnya ; Wahai para pemuka kaumku, aku tidak mengetahui Ilah bagi kalian selain diriku." [QS. Al Qashash ;38].
Maknanya aku tidak mengetahui kalian mempunyai penguasa, penetap hukum, penetap undang-undang dan tempat kembali dalam mengembalikan seluruh urusan kehidupan kalian selain diriku. Makna ini secara tegas telah dinyatakan oleh fir’aun sendiri dalam firman Allah Ta’ala :
مَا أُرِيكُمْ إِلاَّ مَا أَرَى وَمَا أَهْدِيكُمِ إِلاَّ سَبِيْلَ الرَّشَادِ
" Aku tidak mengemukakan kepada kalian kecuali apa yang menurutku baik, dan aku tidak menunjukkan kalian kecuali kepada jalan yang benar." [QS. Ghafir :29].
Allah juga berfirman :
وَمَنْ يَقُلْ مِنْهُمْ إِنِّي إِلَهٌ مِنْ دُوْنِهِ فَذَلِكَ نَجْزِيهِ جَهَنَّمَ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الظَّالِمِيْنَ
" Dan barang siapa di antara mereka mengatakan," Aku adalah Ilah (yang berhak diibadahi) selain Allah, maka Kami membalasnya dengan Jahanam dan sesungguhnya demikianlah Kami membalas orang-orang yang dzalim."
Barang siapa menyatakan dirinya adalah penetap hukum atau berhak menetapkan hukum dan rakyat berkewajiban mentaati hukum yang ia tetapkan, berarti telah menjadikan dirinya sebagai Ilah (tuhan yang berhak diibadahi) dan mengaku dirinya mempunyai hak uluhiyah, baik ia tahu maupun tidak…baik ia menamakan hal itu sebagai uluhiyah dan rububiyah maupun tidak !!!!
[c]- Kekafiran penguasa jenis ini telah dinyatakan seluruh ulama Islam dahulu dan sekarang, tidak ada yang meragukan kekafiran dan kesyirikan mereka kecuali orang yang telah dipadamkan bashirahnya dan dibutakan hatinya oleh Allah dari cahaya wahyu Allah, sebagaimana dikatakan oleh syaikh Asy Syanqithi dalam menafsirkan ayat :
وَلاَ يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
" Dan Allah tidak mengambil seorang-pun sebagai sekutu-Nya dalam menetapkan hukum." [QS. Al Kahfi : 26].
Imam Ibnu Katsir ketika mengomentari hukum Ilyasiq bangsa Tartar mengatakan :
“ Barang siapa melakukan hal itu maka ia telah kafir berdasar ijma’ umat Islam.’
Sekiranya kita ingin menyebutkan secara panjang lebar perkataan para ulama dalam masalah ini tentulah akan memakan banyak ruang, sampai satu buku-pun tidak cukup !!!
[d]- Penguasa yang menetapkan undang-undang ini telah disebut oleh Allah sebagai thaghut, sementara keimanan seseorang tidak akan benar tanpa adanya sikap kufur kepada thaghut, sebagaimana firman Allah :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيْدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيْدًا
" Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." [QS. An Nisa ' : 60].
2-Pendapat syaikh Utsaimin bahwa bila penguasa tersebut menetapkan undang-undang yang wajib ditaati oleh rakyat, namun ia masih meyakini perbuatannya sebagai sebuah kedzaliman dan dosa, dan ia masih meyakini bahwa hukum yang benar adalah hukum Al Qur’an dan as sunah ; maka kita tidak bisa mengkafirkan penguasa ini…pendapat ini merupakan sebuah pendapat yang salah besar. Pendapat ini kami bantah dari dua segi:
[a]- Syarat takfir (jatuhnya vonis kafir) yang beliau sebutkan ini merupakan syarat lamunan yang tidak ada realitanya dalam kehidupan manusia. Tak seorang pun melakukannya, tak seorangpun akan menyatakannya, bahkan tak seorangpun kecuali meyakini undang-undang dasar dan hukum ketetapannya merupakan hukum yang paling baik, sebagai hukum ideal yang merealisasikan kebaikan dari segala aspek, sebagai kebenaran yang harus diikuti rakyat, selainnya adalah salah !!!! Sekalipun secara lisan ia tidak menyatakan hal ini, namun perbuatannya menunjukkan ini semua !!!
Tolong datangkan kepada saya seorang penetap undang-undang/legislatif ---sepanjang sejarah sampai hari ini--- yang mengakui bahwa dirinya dzalim atau ia menetapkan kedzaliman kepada rakyatnya…yang mengakui bahwa undang-undang selain yang ia tetapkan adalah benar dan undang-undang yang ia tetapkan salah. Tidak akan ada !!!
Karena itu pernyataan “jika ia meyakini bahwa ia dzalim” merupakan sebuah kerancuan…selain itu juga menunda hukum Allah Ta’ala untuk menghukumi para penguasa thaghut tersebut.
[b]- Tarohlah kita dapati ada yang mau mengakui bahwa dirinya dzalim dalam undang-undang yang ia tetapkan bagi rakyat, dzalim dalam menyatakan dirinya mempunyai hak rububiyah dan uluhiyah. Apa manfaat pengakuan ini baginya ????
Permisalan dirinya bagaikan orang yang mengatakan saya Ilah (tuhan), manusia wajib mentaati dan beribadah kepadaku, namun ia juga meyakini bahwa ia berbuat dzalim dengan pengakuannya ini. Apa manfaat keyakinannya ini bila ia sendiri telah melakukan kekafiran yang sangat nyata ????
Kaum Yahudi meyakini nabi Muhammad itu benar, ajaran yang ia bawa dari Allah adalah benar, mereka dzalim dengan permusuhan mereka kepada beliau, meski begitu, hal ini tidak memberi mereka manfaat sedikitpun karena mereka tidaka mengikuti beliau, tidak ridha dengan hukum dan syariat beliau, maka kaum yahudi telah kafir berdasar nash dan ijma’ !!!!
Saya sebutkan di sini terlalu mudahnya sebagian ikhwan di jazirah Arab dalam menggunakan kata sambung “tsumma (kemudian / lalu)” yang tersebut dalam sabda Rasulullah “ ma syaa Allahu tsumma maa syi’ta (terserah Allah, kemudian terserah anda)..mereka memakainya untuk hal yang tidak benar. Anda melihat mereka memakainya dalam hal-hal yang sebenarnya kesyirikan tanpa sepengetahuan mereka, hanya karena mereka mengira bahwa kalimat “kemudian” berlaku bagi mereka dalam segala hal, dalam setiap ungkapan, sebagaimana perkataan salah seorang mereka “Saya berwala’ kepada Allah, kemudian kepada fulan.” " Saya mentaati Allah kemudian mentaati fulan." " Saya berperang di jalan Allah kemudian di jalan fulan." Ini sama nilainya dengan ia mengatakan,” Saya beribadah kepada Allah kemudian kepada fulan.”
Demikian juga, saya melihat beberapa ulama telah terlalu mudah memakai syarat “mengakui kedzliman ”, mereka menganggap syarat ini sudah bisa menjadi udzur bagi orang yang mengakui dirinya sebagai Ilah (tuhan yang berhak diibadahi) dengan syarat ia mengakui dengan pernyataan itu ia telah berbuat dzalim, dengan demikian ia tidak bisa dikafirkan !!!!
3-Kami bertanya kepada syaikh ---beliau telah meninggal, rahimahullah---bagaimana kita bisa mengkompromikan antara keyakinan si penguasa tersebut bahwa ia telah dzalim, bahwa hukum Al Qur’an dan As Sunah adalah kebenaran, selainnya adalah batil, ia wajib memutuskan perkara dengan kitabullah dan sunah rasul-Nya…..(bagaimana kita mengompromikan pengakuan ini dengan kenyataan bahwa ) lalu ia tidak memutuskan dengan Al Qur’an dan As sunah, bahkan justru memerintah rakyat dengan undang-undang yang ia tetapkan sendiri yang menandingi syariatAllah, ia jadikan sebagai undang-undang dasar yang wajib ditaati oleh rakyat. Bagaimana hal ini bisa kita kompromikan dengan aqidah ahlu sunah wal jama’ah yang menyatakan bahwa iman adalah keyakinan, ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang… bahwa antara lahir dan batin ada hubungan yang sangat erat, masing-masing ikut mempengaruhi dan terpengaruh oleh yang lain…sebagaimana tersebut dalam banyak nash Al Qur’an dan As Sunah ????
Bagaimana kita mengkompromikan antara batin penguasa tersebut yang bersih, beriman, mencintai Allah dan syariat-Nya…dengan lahirnya yang menentang syariat dan hukum Allah ???? Bagaimana kita bisa mengkompromikan antara batinnya yang mengatakan bahwa dirinya adalah hamba Allah dengan lahirnya yang mengatakan bahwa dirinya adalah tandingan bagi Allah ???? Ataukah batinnya berjalan ke suatu arah dan lahirnya berjalan ke arah yang berlawanan ????
Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa salam telah bersabda ;
إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَ إِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ
أَلاَ وَهِيَ اْلقَلْبُ
" Di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh anggota tubuh lain akan baik dan jika ia buruk, maka seluruh anggota tubuh lain akan buruk. Itulah hati.”
4-Syaikh Utsaimin tidak mempunyai seorang ulama salafpun yang pernah berpendapat seperti pendapat beliau dan saya harap dalam kasus ini tidak digunakan pendapat Ibnu Abbas “ kufrun duna kufrin”, karena pendapat Ibnu Abbas berada di sebuah lembah, sementara pendapat syaikh Ibnu Utsaimin berada di lembah lain yang berbeda. Saya tidak pernah melihat ada pendapat ulama salafu sholih yang didzalimi melebihi pendapat Ibnu Abbas ini “kufrun duna kufrin”
5-Jika penguasa yang mengaku dirinya sebagai Ilah, menetapkan undang-undang dan mengganti syariat dan dien Allah dengan undang-undang positif ini ; tidak kafir, lantas siapa orang yang kafir itu ? ??? Kapan penguasa menjadi kafir ???
Setelah menyatakan tidak kafirnya penguasa yang menetapkan undang-undang positif dan mengganti syariat Allah dengan undang-undang positif, Syaikh Utsaimin menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan :
“ Penguasa yang kafir hanyalah penguasa yang berpendapat bahwa hukum selain Allah lebih baik bagi manusia daripada hukum Allah, atau hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah. Penguasa yang seperti ini telah kafir karena ia telah mendustakan firman Allah Ta’ala :
أَ لَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ
" Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya ?" [QS. At Tiin ;8]
Saya katakan :
“ Pembatasan seperti ini adalah pembatasan yang batil, sudah diketahui kebatilannya dalam dien kita secara sangat jelas. Maknanya syaikh Utsaimin tidak mengkafirkan penguasa kecuali penguasa yang berpendapat bahwa undang-undang positifnya lebih baik atau sama baik dengan hukum Allah, karena ia telah mendustakan (takdzib)…itu saja !!!
Kami hendak bertanya :
Jika yang mendorong penguasa untuk memutuskan dengan selain hukum Allah adalah kebencian kepada dien Allah dan hukum-hukum syariat-Nya, tanpa disertai sikap mendustakan, maka penguasa seperti ini menurut anda tidak kafir ??? Apakah penguasa seperti ini menurut anda penguasa yang beriman ???
Jika anda menjawab ya, ia penguasa yang beriman ---mau tak mau anda harus menjawab demikian---, anda bawa ke mana makna firman Allah Ta’ala (artinya) :
"Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka membenci apa yang Allah turunkan ( Al Qur'an), maka Allah menghapuskan (pahala) amal-amal mereka." [QS. Muhammad : 9].
Dan firman-Nya (artinya):
" Sesungguhnya orang-orang yang kembali kafir (murtad) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah berbuat dosa dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu disebabkan mereka mengatakan kepada orang-orang yang membenci apa yang Allah turunkan (Al Qur'an)," Kami akan mentaati kalian dalam sebagian urusan." [QS. Muhammad : 25-26].
Jika orang-orang yang mengatakan kepada orang-orang membenci hukum Allah “ Kami akan mentaati kalian dalam sebagian urusan” ---bukan dalam seluruh urusan---- telah murtad dan kafir, maka apa pendapat anda terhadap orang-orang yang membenci hukum Allah tersebut ???? Tak diragukan lagi, mereka lebih pantas murtad dan kafir.
Jika yang mendorong penguasa ini untuk memutuskan perkara dengan selain hokum Allah adalah rasa dengki, permusuhan dan kebencian kepada Allah, Rasulullah dan kaum beriman ----bukan mendustakan----, apakah menurut anda ia tidak kafir ????
Jika yang mendorong penguasa ini untuk memutuskan perkara dengan selain hukum Allah adalah kesombongan dan kecongkakan terhadap hukum-hukum dan syariat Allah, bukan mendustakan, apakah menurut anda ia tidak kafir ????
Jika yang mendorong penguasa ini untuk memutuskan perkara dengan selain hukum Allah adalah loyalitas kepada kaum Yahudi dan nasrani, demi mencari keridhaan kaum Yahudi dan nasrani kepada hukum positif yang ia tetapkan dan pemerintahannya, apakah menurut anda ia tidak kafir ????
Jika ia menjadikan dirinya sebagai Ilah yang menetapkan undang-undang yang menyelisihi dan menyaingi hokum Allah, lalu ia memaksa rakyat untuk mentaati undang-undang tersebut, apakah menurut anda ia tidak kafir sampai ia mengucapkan kalimat mendustakan ????
Saya katakan :
Seluruh penguasa yang sifatnya baru saja saya sebutkan tadi adalah penguasa yang kafir akbar, keluar dari Islam berdasar nash dan ijma’, tidak boleh ragu-ragu dalam mengkafirkan mereka. Kalaulah tidak karena takut akan panjang lebar dan keterbatasan ruang, tentulah kekafiran masing-masing penguasa yang baru saja saya sebutkan ini akan saya jelaskan secara rinci dengan dalil-dalil syar’i dan perkataan para ulama salafu sholih.1
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh2 rahimahullah telah menyebutkan enam golongan penguasa yang kafir keluar dari Islam3, kenapa syaikh Utsaimin hanya membatasinya dalam satu atau dua golongan saja ????
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh rahimahullah telah menyebut mereka sebagai pentolan-pentolan thaghut, kenapa para ulama sekarang justru menganggap mereka sebagai orang-orang beriman dan bertauhid, kenapa para ulama sekarang justru banyak berdebat untuk membela penguasa-penguasa tersebut ???
Kenapa pendapat syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah tidak disebutkan ketika membahas masalah penting ini, padahal beliau telah membahas tuntas masalah ini ???? Ataukah nama beliau sekedar untuk mencari berkah ??? Ataukah perkataan beliau yang benar tidak membuat ridha para thaghut dan tidak memenuhi hasrat dan keinginan para politikus zaman sekarang ????
6- Termasuk perkataan syaikh Utsaimin yang patut dikritisi adalah perkatan beliau dalam fatwa tersebut :
“ Takfir merupakan sebuah masalah yang besar, tidak sewajarnya membicarakan masalah ini kecuali kepada para pelajar yang memahami dan mengerti makna dan konskuensi dari adanya penjatuhan vonis kafir maupun vonis belum kafir. Adapun masyarakat umum, maka membicarakan masalah telah jatuhnya vonis kafir (takfir) atau belum jatuhnya vonis kafir dalam masalah-masalah seperti ini akan mendatangkan banyak kerusakan.
Saya berpendapat, pertama; janganlah para pemuda disibukkan dengan permasalahan seperti ini, permasalahan apakah penguasa telah kafir atau belum ??? Permasalahan bolehkan memberontak atau tidak ???. Hendaklah para pemuda memperhatikan ibadah yang Allah wajibkan atau sunahkan kepada mereka !!!!
Saya katakan :
Kami tidak bisa membenarkan pendapat syaikh Utsaimin ini, kami mengkritisi perkataan beliau ini dalam beberapa point berikut :
[a]- Mengkafirkan thaghut, bara’ (berlepas diri dan menyatakan permusuhan) terhadap mereka, terhadap dien mereka, terhadap kekafiran dan kesyirikan mereka, merupakan ajaran dien Islam, bahkan merupakan ajaran dan perintah dien yang paling agung. Dien seseorang tidak akan lurus dan tidak akan sah sebelum kufur kepada thaghut, sebelum mengkafirkan dan bara’ terhadap thaghut, sebagaimana ditujukkan oleh syahadat tauhid, dan puluhan dalil lain dari Al Qur’an dan As Sunah !!!
Jika persoalannya demikian, maka kalangan umum tidak boleh dihalangi dari mengetahui perkara ini…atau pengetahuan tentang masalah ini dikhususkan bagi para pelajar saja seperti yang diinginkan oleh syaikh Utsaimin. Dien ---seluruh dien, terkhusus lagi tauhid---untuk semua orang…diberikan kepada semua orang, tidak seorangpun dihalangi untuk mengetahuinya. Bukan termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam menghalangi penyampaian ilmu kepada masyarakat, sehingga diberikan kepada sebagian orang dan tidak boleh diberikan kepada sebagian lainnya…hanya karena takut terjadinya kerusakan yang sebenarnya fiktif !!!!
Bahkan kerusakan yang sebenarnya adalah ketika masyarakat tidak mengetahui dien dan tauhid …adalah ketika mereka tidak mengetahui jalan para pendosa dan jalan para penguasa kafir dan thaghut….sehingga menyebabkan mereka berwala’ kepada para thaghut dan terjatuh dalam jurang kesyirikan tanpa mereka sadari….sebagaimana terjadi pada banyak masyarakat pada zaman sekarang !!!!
Dien yang mengandung sebagian ajaran yang hanya boleh diketahui oleh segelintir orang…sementara sebagian ajaran lainnya boleh diketahui oleh kalangan umum…adalah agama sekte sesat Qaramithah Bathiniyah yang takut kalau diri mereka dan kekafiran mereka diketahui oleh pengikut-pengikutnya…sehingga mereka menutup-nutupi akidah dan pemikiran mereka dari pengikut-pengikut awam mereka. Mereka tidak menampakkannya kecuali kepada pengikut tertentu mereka yang mereka percayai tingkat loyalitas dan kemampuannya dalam memahami istilah dan sandi-sandi mereka. Dien kita ---wal hamdu lillahi---berlepas diri dari hal itu !!!
Kalau syaikh Utsaimin mengatakan : kami menasehati kaum muslimin untuk tidak banyak memperbincangkan kekafiran yang masih kemungkinan dan mutasyabih (samar), kekafiran yang belum jelas dan tegas…karena kondisi seperti itu diserahkan kepada para para ulama spesialis dan ulama mujtahid untuk menjelaskan secara tegas…kalau syaikh Utsaimin mengatakan demikian tentulah perkataan beliau benar…tetapi tak sedikitpun fatwa syaikh Utsaimin menunjukkan hal ini !!!
[b]- Syaikh Utsaimin melarang para pemuda menyibukkan diri dengan mengkafirkan para thaghut, mengetahui penguasa mana yang telah kafir dan penguasa mana yang belum kafir, siapa yang boleh diberontak dan siapa yang tidak boleh diberontak. Syaikh Utsaimin menasehati mereka untuk memperhatikan hal-hal yang Allah wajibkan atau sunahkan kepada mereka. Ini artinya mengkafirkan para thaghut kafir dan murtad yang menguasai umat Islam dengan semena-mena bukan termasuk hal yang Allah wajibkan atau Allah Ta’ala sunahkan kepada mereka. Jelas ini sebuah kesalahan fatal dan bertentangan dengan puluhan nash Al Qur’an dan As Sunah yang mewajibkan kufur kepada thaghut dan berlepas diri darinya. Kami sebetulnya berharap syaikh Utsaimin tidak terjatuh dalam kesalahan seperti ini.
Lalu bagaimana kita akan mengkompromikan fatwa syaikh Utsaimin ini dengan praktek dari firman Allah Ta’ala (artinya);
" Dan demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat Al Qur'an (supaya jelas jalan orang-orang yang shaleh) dan supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa." [QS. Al An'am ;55].
[c]- Siapa yang mengambil keuntungan dari nasehat dan arahan syaikh Ustaimi yang mewajibkan para pemuda Islam untuk tidak mengetahui realita kehidupan mereka ini…realita para pemerintah thaghut yang memerintah mereka dengan undang-undang thaghut dan kafir ????
Siapa yang mengambil keuntungan ketika para pemuda Islam tidak mengetahui hukum Allah berkenaan dengan realita mereka dan realita para pemerintah thaghut tersebut ???
Siapa yang mengambil keuntungan ketika para pemuda Islam tidak mengetahui jalan orang-orang yang berdosa…sehingga mereka tidak bisa membedakan antara jalan orang-orang yang berdosa dengan jalan kaum beriman dan bertauhid ???? Sehingga mereka tidak bisa membedakan orang yang seharusnya mendapatkan loyalitas mereka dengan orang yang seharusnya mendapatkan bara’ (kebencian dan permusuhan) mereka ????
Tidak diragukan lagi…yang pertama kali dan terakhir kali meraih keuntungan adalah para pemerintah thaghut…para politikus penguasa penumpah darah ….yang meraih keuntungan adalah pemerintah kafir yang berkuasa di negeri-negeri kaum muslimin !!!.
Kami jelaskan demikian, sekalipun kami juga meyakini nasehat syaikh Utsaimin sebenarnya tidak bermaksud sejauh ini. Namun nasehat syaikh Utsamin ini, tanpa sepengetahuan dan sekehendak beliau …telah memberi keuntungan kepada orang-orang yang baru saja saya sebutkan.
Karena berkumpulnya sebab-sebab inilah, saya meyakini syaikh Ustaimin rahimahullah telah terjatuh dalam kesalahan dalam hal-hal yang telah saya sebutkan, dan kesalahan beliau ini tidak boleh diikuti. Wallahu Ta’ala A’lam.
Jika saya heran (dengan ketergelinciran syaikh Utsaimin ini), maka saya lebih sangat heran lagi dengan sebagian orang yang mencari-cari ketergelinciran dan kesalahan para ulama untuk dijadikan alasan mengambil rukhsah atas kesesatan, penyelewengan dan pemahaman mereka yang salah…untuk dijadikan –huruf per huruf--- sebagai senjata dalam memerangi dan membantah kelompok lain….seakan ketergelinciran dan kesalahan para ulama adalah Al Qur’an yang tidak boleh dikritisi dan dibantah. Laa haula wa laa quwwata illa billahi.
Demikian koreksian yang bisa saya sampaikan sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada saya. Sebagai penutup, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.
Abdul Mun’im Musthafa Halimah / 29/11/1421 H
Abu Bashiir 22/2/2001 M
Jumat, 22 Januari 2010
Hakikat Islam dan Hakikat Syirik (5)
dari : Kitab Al Haqaaiq fit Tauhid
oleh : Syaikh Ali Ibnu Khudlair Al Khudlair
alih bahasa : Abu Sulaiman
I.Hakikat Syirik
Sekarang adalah Hakikat Syirik, ini juga dalilnya dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma Ulama.
1.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah milik Allah. Maka janganlah kamu menyeru yang lain bersama Allah” (Al Jin: 18)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa mesjid-mesjid itu adalah tempat milik Allah, maksudnya periabadatan yang dilakukan di dalam mesjid hanya ditujukan kepada Allah, maka janganlah kalian menyeru yang lain bersama Allah.
Di sini maksudnya adalah Ad Du’a ma’allah (menyeru yang lain bersama Allah), dengan arti bahwa di samping seseorang beribadah kepada Allah, dia juga beribadah kepada yang lainnya.
Allah menetapkan dan melarang manusia menyeru yang lain, baik itu malaikat, nabi, orang shalih atau siapa saja… yang jelas selain Allah. Jadi, yang namanya syirik di sini adalah Ad Du’a ma’allah (menyeru yang lain bersama Allah).
Orang ketika melakukan shalat, shaum, zakat, haji… semua itu adalah ibadah kepada Allah, akan tetapi jika di samping dia melakukan hal itu dia juga membuat sesajian atau menyandarkan hukum kepada selain Allah, atau tunduk kepada selain aturan Allah, ini berarti dia di samping ibadah kepada Allah juga dia ibadah kepada yang lain-Nya, maka dia masuk kedalam larangan surat Al Jin tadi: “janganlah kamu menyeru yang lain bersama Allah”
2.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan Allah berfirman: “Janganlah kalian menyembah dua Tuhan; sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut”. (An Nahl: 51)
“Janganlah kalian menyembah dua tuhan”, yaitu menduakan Allah, atau di samping ibadah kepada Allah juga beribadah kepada yang lain, maka itu adalah dilarang karena itu adalah kemusyrikan.
3.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatupun”. (An Nur: 55)
Syirik adalah menyekutukan Allah, di samping beribadah kepada Allah, dia juga beribadah kepada yang lainnya.
Jika alasan orang; bagaimana kamu mengatakan si fulan ini musyrik, padahal dia orang yang rajin shalat, zakat, zhaum, haji…”, maka kita katakana: yang namanya ibadah itu hanya kepada Allah saja, itu yang dituntut. Adapun jika dia shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya namun juga dia mengikuti hukum thaghut, maka itu telah menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bahkan sebenarnya hakikat ibadah yang dilakukan orang musyrik kepada Allah jika disertai dengan kemusyrikan maka peribadatan kepada Allah yang dilakukannya itu adalah TIDAK DIANGGAP.
Jadi, ketika orang melakukan shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya, namum di samping itu dia juga membuat tumbal dan sesajian, membuat hukum tandingan bagi hukum Allah, memutuskan dengan selain hukum Allah, maka dia itu adalah musyrik.
4.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah”. (Al Kafirun: 1-2)
Ini adalah apa yang Allah perintahkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, padahal kita mengetahui bahwa orang Quraisy itu beribadah kepada Allah, akan tetapi kenapa Rasul diperintahkan demikian? Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan: “Bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan Rasulullah untuk mengatakan demikian karena sebenarnya peribadatan kepada Allah ketika disertai dengan peribadatan kepada selainnya, maka peribadatannya itu tidak dianggap apa-apa, seolah mereka tidak beribadah kepada Allah” (Badaaiul Fawaaid)
Seseorang yang melakukan shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya akan tetapi dia juga setia atau loyal kepada hukum thaghut, maka pada hakikatnya dia itu tidak beribadah kepada Allah, tapi dia itu ibadah kepada thaghut.
5.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (sembahan-sembahan) yang mensyari’atkan bagi mereka dari dien (ajaran) ini apa yang tidak Allah izinkan?” (Asy Syura : 21)
Orang yang memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum di samping Allah, maka Allah telah mencapnya sebagai syuraka (sekutu-sekutu), dan bentuk peribadatannya adalah ketaatan terhadap apa yang telah mereka syari’atkan di luar syari’at Allah tersebut.
Jadi, yang membuat hukum itu disebut sekutu-sekutu Allah yang diibadati, dan bentuk peribadatannya adalah dengan cara mengikuti hukum tersebut. Dan ayat tersebut juga menjelaskan bahwa penyekutuan itu tidak terbatas hanya kepada dua tuhan yang lain selain Allah, akan tetapi meskipun banyak tuhan yang diikuti maka itu adalah termasuk menyekutukan Allah, menserikatkan makhluk-makhluk bersama Allah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam ayat yang lain:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, Padahal mereka diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah : 31)
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis :
1.Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2.Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3.Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4.Mereka telah musyrik
5.Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang hahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan : “Kami (orang-orang Nashrani) tidak beribadah kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka?!!. Maka Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam mengatakan:
“Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”,
Rasul berkata lagi: Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).
Ketika hak kewenangan pembuatan hukum disandarkan kepada selain Allah seperti kepada alim ulama dan para pendeta, maka itu disebut sebagai bentuk penuhanan atau peribadatan kepada mereka, dan orang yang menyandarkannya atau orang yang mengikuti dan merujuk kepada hukum buatan disebut orang musyrik yang beribadah kepada hukum tersebut dan juga telah mempertuhankan si pembuat hukum tersebut yang mana si pembuat hukum itu disebut arbab (tuhan-tuhan pengatur). Dan dalam ayat yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kalian memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya itu adalah perbuatan kefasikan. Sesungguhnya syaitan membisikkan kepada wali-walinya (kawan-kawannya) agar mereka membantah kalian; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am : 121)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan tentang keharaman bangkai, dan Allah juga menjelaskan tentang tipu daya syaitan. Kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram, namun dalam ajaran orang musyrik Quraisy mereka menyebutnya sebagai sembelihan Allah.
Dalam hadits dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu 'anhu : Orang musyrikin datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Hai Muhammad, ada kambing mati pagi hari, siapa yang membunuhnya ?”, Rasulullah mengatakan: “Allah yang membunuhnya (mematikannya)”, kemudian orang-orang musyrik itu mengatakan:
“Kambing yang kalian sembelih dengan tangan kalian, maka kalian katakan halal, sedangakan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya Yang Mulia kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.
Ini adalah ucapan kaum musyrikin kepada kaum muslimin, Allah katakan bahwa ucapan itu adalah bisikan syaitan terhadap mereka (Dan sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu) untuk mendebat kaum muslimin agar setuju atas penghalalan bangkai, lalu setelah itu Allah peringatkan kepada kaum muslimin jika seandainya menyetujui dan mentaati mereka meski hanya dalam satu hukum atau kasus saja dengan firman-Nya “Maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga mencap bahwa orang yang membuat hukum selain Allah disebut sebagai wali syaitan, dan produk hukum yang buat itu pada hakikatnya adalah hukum syaitan.
6.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thaghut itu”. (An Nisa : 60)
Orang yang tahakum (merujuk hukum) atau orang yang mengajukan perkaranya kepada thaghut disebut orang yang tidak beriman. Ini berarti orang tersebut telah menanggalkan ketauhidan, dengan kata lain bahwa berhakim kepada thaghut ini adalah bentuk penyekutuan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ketika orang berhakim kepada Allah maka dia telah beribadah kepada Allah. Dan bila orang menjadikan hukum selain hukum Allah atau hukum thaghut sebagai acuan, maka dia telah beribadah kepada selain Allah atau telah beribadah kepada thaghut tersebut.
Perujukan hukum kepada selain hukum Allah itu bertentangan dengan tauhid, dan itu sebagai bentuk kemusyrikan. Karena ketika merujuk kepada hukum itu berarti dia mengikuti hukum tersebut dan dia masuk ke dalam syirik tha’ah (ketaatan), sebagaimana orang Nashrani melakukan syirik karena mereka mengikuti hukum yang dibuat para pendetanya.
Orang ketika bertahakum kepada hukum thaghut dikatakan bahwa keimanannya telah lepas dan hanya sekedar klaim saja. Penyekutuan itu bukan hanya terbatas pada do’a, nadzar, istighatsah, shalat dan lainnya, akan tetapi mencakup berbagai macam bentuk penyekutuan kepada Allah yang di antaranyaadalah mengikuti, tunduk, patuh kepada yang bukan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kemudian dalil-dalil dari As Sunnah:
1.Hadits marfu’ dari Abdullah ibnu Mas’ud radliyallahu’anhu :
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Dosa apa yang paling besar?”, Beliau menjawab: “Kamu menjadikan tandingan bagi Allah sedangkan Dia yang telah menciptakan kamu” (HR. Bukhari Muslim)
Jadi, dosa yang paling besar adalah “kamu menjadikan tandingan bagi Allah” dalam arti di sampaing kamu beribadah kepada Allah, kamu juga beribadah kepada yang lainnya.
2.Dari Abu Bakar radliyallahu’anhu:
Kami berkata: “Ya Rasulullah, dan apakah syirik itu adalah apa yang diibadati selain Allah, atau yang diseru bersama Allah?” (Hadits dari Abu Ya’ala, dan ada kelemahan dalam hadits ini)
Dalil-dalil di atas menyebutkan bahwa syirik itu ada dua macam:
yaitu pertama, seperti orang yang tidak beribadah kepada Allah tapi dia hanya beribadah kepada selain Allah, ini seperti para penganut animisme, dinamisme dan yang serupa dengannya dimana mereka hanya menyembah berhala-berhala. Mereka disebut musyrik juga meskipun mereka hanya menyembah kepada selain Allah.
Dan kedua, adalah seperti orang yang beribadah kepada Allah, akan tetapi di samping itu dia juga beribadah kepada selain-Nya.
Di dalam Al Qur’an, larangan syirik itu adalah untuk kedua-duanya dan vonis bagi orang musyik juga diperuntukan bagi kedua-duanya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu menyeru selain Allah yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan madlarat buat kamu, jika kamu melakukannya berarti kamu tergolong orang-orang yang dzalim”. (Yunus : 106)
dan firman-Nya dalam surat yang lain :
“Dan barangsiapa menyeru tuhan yang lain bersama Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”. (Al Mukminun : 117)
Maka syirik itu bukan hanya ibadah kepada selain Allah saja, akan tetapi juga beribadah kepada Allah di samping beribadah kepada selain-Nya. Sedangkan kemusyrikan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku muslim adalah macam yang kedua, yaitu di samping dia beribadah kepada Allah dia juga beribadah kepada selain-Nya.
3.Hadits Al Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu secara mu’alaq:
Allah Subhanahu Wa Ta’ala befirman:
“Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar, dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka”. (Ar Ra’du : 14)
Ibnu ‘Abbas mengatakan : “Perumpamaan orang musyrik, di mana dia ibadah kepada Allah, juga dia beribadah kepada yang lainnya adalah seperti orang haus yang melihat air dikejauhan (dikhayalnya ada air), lalu dia membentangkan tangannya untuk mengambil air tersebut sedangkan dia tidak mampu untuk mendapatkannya”.
Syaikh Muhammad rahimahullah mengatakan:
“Jika amalan kamu seluruhnya untuk Allah maka kamu adalah muwahhid, dan bila di dalamnya ada penyekutuan terhadap makhluk maka kamu adalah orang musyrik”.
Jika seandinya 99% dari semua ibadah itu ditujukan kepada Allah akan tetapi walaupun hanya 1% atau sekian persen ditujukan untuk selain Allah, maka orang itu disebut orang musyrik, karena menduakan atau menyeru yang lain bersama Allah.
Kemudian dalil dari ijma para ulama:
Al Qadli ‘Iyadl, dalam kitab Asy Syifa pada pasal tentang keyakinan-keyakinan atau pernyataan-pernyataan yang merupakan kekafiran, beliau mengatakan bahwa: “Setiap ucapan yang menafikan ke Esaan Allah atau yang terang-terangan beribadah kepada selain Allah atau bersama Allah, maka ia adalah kekafiran dengan ijma kaum muslimin”.
Di sini disebutkan bahwa peribadatan kepada sesuatu di samping ibadah kepada Allah. Dan di sini juga disebutkan kedua macam syirik.
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam Tarikh Nejed hal 223 mengatakan: “Sesungguhnya syirik itu adalah peribadatan kepada selain Allah, penyembelihan, nadzar untuknya dan menyerunya”. Beliau mengatakan: “Saya tidak mengetahui seorangpun dari kalangan ulama berselisih dalam hal itu”.
Di sini disebutkan bahwa peribadatan kepada selain Allah, membuat tumbal, nadzar, atau menyeru selain-Nya itu adalah kemusyrikan.
Syaikh Ishaq ibnu Abdurrahman rahimahullah dalam risalah Takfir Mu’ayyan mengatakan: “Menyeru ahli kubur, memohon kepada mereka, istighatsah dengan mereka adalah kaum muslimin tidak berselisih di dalamnya, bahkan sesungguhnya hal itu adalah termasuk syirik yang mengkafirkan”
Peribadatan kepada selain Allah, permohonan, meminta, istighatsah atau meminta tolong kepada selain Allah (kepada penghuni kubur) itu adalah termasuk kemusyrikan yang membuat pelakunya kafir, ini kesepakatan kaum muslimin.
Beliau juga menjelaskan bahwa menyeru ahli kubur, meminta kepada mereka, istighatsah dengan mereka adalah bukan termasuk masalah yang dipertentangan bahwa itu bukan termasuk dosa besar biasa yang pelakunya tidak dikafirkan, dan tidak ada pertentangan di antara kaum muslimin di dalamnya, akan tetapi memohon kepada penghuni kubur atau istighatsah kepada mereka itu termasuk kemusyrikan yang mengkafirkan, sebagaimana yang dihikayatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan beliau menjadikannya sebagai sesuatu yang tidak diperselisihkan tentang pengkafiran dengannya.
Syaikh Sulaiman Alu Asy Syaikh dalam kitab Taisir hal 117 mengatakan:
“Para ulama mufasirin sepakat bahwa taat dalam penghalalan apa yang telah Allah haramkan atau taat dalam pengharaman apa yang telah Allah halalkan adalah bentuk ibadah kepada yang menghalalkan atau mengharamkan tersebut, dan itu merupakan syirik dalam ketaatan”
Mengikuti atau tunduk patuh kepada hukum selain hukum Allah itu termasuk syirik tha’ah yang Allah jelaskan dlam surat At Taubah: 31 yang telah lalu. Dan beliau juga menukil ijma bahwa dalam sahnya tauhid ini harus ada kufur terhadap thaghut.
Dalam bab ini dijelaskan dalil dari Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma yang menjelaskan bahwa syirik itu ada syirik yang sifatnya kuburan (menyeru, istighatsah, do’a, atau memohon kepada selain Allah), dan ada yang sifatnya merupakan syirik aturan, hukum, dan perundang-undangan, dan ini bentuknya adalah dengan mengikuti, tunduk dan setuju kepada hukum yang bukan berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan selain itu bentuk syirik juga ada yang murni peribadatan kepada selain Allah dan yang kedua adalah bentuk ibadah kepada Allah namun di samping itu juga beribadah kepada selain-Nya. Sedangkan relita orang musyrik yang mengaku Islam pada realita zaman sekarang, mereka terjatuh ke dalam kemusyrikan yang kedua. Mereka di samping ibadah kepada Allah juga beribadah kepada selain-Nya, dan itu adalah termasuk kemusyrikan dengan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan ijma dari para ulama.
II.Islam Dan Syirik Adalah Dua Hal Yang Kontradiktif
- Tidak Bisa Bersatu-
Dliddan adalah dua hal yang bertentangan yang tidak bisa bersatu dalam satu waktu pada objek yang sama. Dan Naqidlan adalah dua hal yang bersebrangan yang kedua-duanya tidak bisa hilang dan tidak bisa bersatu dalam satu waktu dalam satu objek.
Contoh dliddan : Seperti warna merah dengan warna putih… apabila ada tembok yang bercatkan putih lalu diberi dengan warna merah, maka putih akan hilang. Apabila dicampurkan maka warna putih tidak akan menjadi putih lagi dan warna merah tidak akan berwarna merah lagi, akan tetapi yang ada adalah warna selain warna merah dan putih, menjadi hitam umpamanya. Ini adalah dliddan.
Dan naqidlan adalah seperti siang dan malam, tidak ada siang dan malam berbarengan dalam satu waktu. Jika tidak disebut siang, maka berarti malam atau sebaliknya jika bukan malam berarti siang. Tidak bisa dalam satu waktu disebut siang juga disebut malam, akan tetapi harus ada salah satunya.
Bagitu juga Islam dan Syirik, seseorang tidak mungkin dikatakan muslim sekaligus musyrik juga, atau sebaliknya orang musyrik dikatakan juga muslim. Maksudnya, Islam dan syirik tidak bersatu dalam siri seseorang. Jika syirik ada maka Islamnya hilang, atau jika dia seorang muslim muwahhid maka syiriknya harus tidak ada.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan”. (Yunus : 3)
Jadi, tidak ada perantara di antara keduanya… dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menunjukan kepad dia jalan yang lurus; bisa jadi dia bersyukur dan bisa jadi dia kufur”. (Al Insan : 3)
Ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir, baik itu bersyukur terhadap nikmat Allah, ataupun kufur terhadapnya. Orang muslim adalah orang yang bersyukur terhadap nikmat Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dia-lah yang menciptakan kalian, maka di antara kalian ada yang kafir dan di antara kalian ada yang mukmin”. (Ath Thagabun : 2)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Oleh sebab itu maka setiap orang yang tidak beribadah kepada Allah maka dia itu mesti ibadah kepada selain Allah yang mana dia ibadah kepada selain-Nya, sehingga dia musyrik. Di tengah Bani Adam ini tidak ada macam yang ketiga, hanya ada muwahhid atau musyrik, atau yang mencampurkan ini dengan yang itu, seperti orang-orang yang merubah ajaran dari kalangan agama-agama yang ada, Nashara dan yang lainnya dari kalangan orang yang mengaku dirinya Islam” (Al Fatawa 14/282,284)
Bila seseorang, dia di samping mengaku Islam namun dia juga seorang demokrat misalnya, maka itu bertentangan, karena jika dia seorang demokrat berarti DIA BUKAN muslim, atau jika dia seorang komunis tapi mengaku Islam maka dia itu bukan orang Islam.
Tidak ada yang namanya seorang muslim yang demokrat atau muslim nasionalis atau muslim komunis !! karena itu seperti seorang muslim yang menganut agama Budha atau Kristen atau agama lainnya.
Syaikh Abdurrahman ibnu Hasan ibnu Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah di dalam Syarh Ashli Dienil Islam dan Syaikh Abdullathif di dalam Minhajut Ta-sis, keduanya menjelaskan:
“Siapa yang melakukan syirik, maka dia telah meninggalkan tauhid, karena keduanya (tauhid dan syirik ini) adalah dua hal yang kontradiksi yang tidak bisa bersatu (pada satu waktu dalam satu objek) dan tidak bisa kedua-duanya hilang (dalam satu waktu dari objek itu)”.
Seseorang tidak bisa dikatakan dia itu muwahhid juga sekaligus musyrik… tapi yang ada adalah jika dia bukan musyrik maka dia seorang muslim muwahhid, dan sebaliknya jika dia bukan seorang muwahhid maka dia adalah orang musyrik. Tidak bisa kedua-duanya hilang dari orang tersebut dan tidak bisa kedua-duanya menyatu dalam diri orang tersebut pada waktu yang bersamaan.
Ini adalah hakikat tauhid dan hakikat syirik, di mana kedua-duanya adalah Dliddan, yaitu dua hal yang bertentangan yang tidak bisa bersatu dalam satu waktu pada objek yang sama. Dan Naqidlan, yaitu dua hal yang bersebrangan yang kedua-duanya tidak bisa hilang dan tidak bisa bersatu dalam satu waktu dalam satu objek.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat serta para pengikutnya sampai hari kiamat. Alhamdulillaahirrabbil ’aalamiin…
oleh : Syaikh Ali Ibnu Khudlair Al Khudlair
alih bahasa : Abu Sulaiman
I.Hakikat Syirik
Sekarang adalah Hakikat Syirik, ini juga dalilnya dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma Ulama.
1.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan Sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah milik Allah. Maka janganlah kamu menyeru yang lain bersama Allah” (Al Jin: 18)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa mesjid-mesjid itu adalah tempat milik Allah, maksudnya periabadatan yang dilakukan di dalam mesjid hanya ditujukan kepada Allah, maka janganlah kalian menyeru yang lain bersama Allah.
Di sini maksudnya adalah Ad Du’a ma’allah (menyeru yang lain bersama Allah), dengan arti bahwa di samping seseorang beribadah kepada Allah, dia juga beribadah kepada yang lainnya.
Allah menetapkan dan melarang manusia menyeru yang lain, baik itu malaikat, nabi, orang shalih atau siapa saja… yang jelas selain Allah. Jadi, yang namanya syirik di sini adalah Ad Du’a ma’allah (menyeru yang lain bersama Allah).
Orang ketika melakukan shalat, shaum, zakat, haji… semua itu adalah ibadah kepada Allah, akan tetapi jika di samping dia melakukan hal itu dia juga membuat sesajian atau menyandarkan hukum kepada selain Allah, atau tunduk kepada selain aturan Allah, ini berarti dia di samping ibadah kepada Allah juga dia ibadah kepada yang lain-Nya, maka dia masuk kedalam larangan surat Al Jin tadi: “janganlah kamu menyeru yang lain bersama Allah”
2.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan Allah berfirman: “Janganlah kalian menyembah dua Tuhan; sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut”. (An Nahl: 51)
“Janganlah kalian menyembah dua tuhan”, yaitu menduakan Allah, atau di samping ibadah kepada Allah juga beribadah kepada yang lain, maka itu adalah dilarang karena itu adalah kemusyrikan.
3.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatupun”. (An Nur: 55)
Syirik adalah menyekutukan Allah, di samping beribadah kepada Allah, dia juga beribadah kepada yang lainnya.
Jika alasan orang; bagaimana kamu mengatakan si fulan ini musyrik, padahal dia orang yang rajin shalat, zakat, zhaum, haji…”, maka kita katakana: yang namanya ibadah itu hanya kepada Allah saja, itu yang dituntut. Adapun jika dia shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya namun juga dia mengikuti hukum thaghut, maka itu telah menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bahkan sebenarnya hakikat ibadah yang dilakukan orang musyrik kepada Allah jika disertai dengan kemusyrikan maka peribadatan kepada Allah yang dilakukannya itu adalah TIDAK DIANGGAP.
Jadi, ketika orang melakukan shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya, namum di samping itu dia juga membuat tumbal dan sesajian, membuat hukum tandingan bagi hukum Allah, memutuskan dengan selain hukum Allah, maka dia itu adalah musyrik.
4.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah”. (Al Kafirun: 1-2)
Ini adalah apa yang Allah perintahkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, padahal kita mengetahui bahwa orang Quraisy itu beribadah kepada Allah, akan tetapi kenapa Rasul diperintahkan demikian? Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan: “Bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan Rasulullah untuk mengatakan demikian karena sebenarnya peribadatan kepada Allah ketika disertai dengan peribadatan kepada selainnya, maka peribadatannya itu tidak dianggap apa-apa, seolah mereka tidak beribadah kepada Allah” (Badaaiul Fawaaid)
Seseorang yang melakukan shalat, shaum, zakat, haji dan yang lainnya akan tetapi dia juga setia atau loyal kepada hukum thaghut, maka pada hakikatnya dia itu tidak beribadah kepada Allah, tapi dia itu ibadah kepada thaghut.
5.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu (sembahan-sembahan) yang mensyari’atkan bagi mereka dari dien (ajaran) ini apa yang tidak Allah izinkan?” (Asy Syura : 21)
Orang yang memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum di samping Allah, maka Allah telah mencapnya sebagai syuraka (sekutu-sekutu), dan bentuk peribadatannya adalah ketaatan terhadap apa yang telah mereka syari’atkan di luar syari’at Allah tersebut.
Jadi, yang membuat hukum itu disebut sekutu-sekutu Allah yang diibadati, dan bentuk peribadatannya adalah dengan cara mengikuti hukum tersebut. Dan ayat tersebut juga menjelaskan bahwa penyekutuan itu tidak terbatas hanya kepada dua tuhan yang lain selain Allah, akan tetapi meskipun banyak tuhan yang diikuti maka itu adalah termasuk menyekutukan Allah, menserikatkan makhluk-makhluk bersama Allah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam ayat yang lain:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, Padahal mereka diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah : 31)
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis :
1.Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2.Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3.Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4.Mereka telah musyrik
5.Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab.
Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang hahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan : “Kami (orang-orang Nashrani) tidak beribadah kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka?!!. Maka Rasul shallallaahu 'alaihi wasallam mengatakan:
“Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”,
Rasul berkata lagi: Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).
Ketika hak kewenangan pembuatan hukum disandarkan kepada selain Allah seperti kepada alim ulama dan para pendeta, maka itu disebut sebagai bentuk penuhanan atau peribadatan kepada mereka, dan orang yang menyandarkannya atau orang yang mengikuti dan merujuk kepada hukum buatan disebut orang musyrik yang beribadah kepada hukum tersebut dan juga telah mempertuhankan si pembuat hukum tersebut yang mana si pembuat hukum itu disebut arbab (tuhan-tuhan pengatur). Dan dalam ayat yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kalian memakan sembelihan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya itu adalah perbuatan kefasikan. Sesungguhnya syaitan membisikkan kepada wali-walinya (kawan-kawannya) agar mereka membantah kalian; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am : 121)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan tentang keharaman bangkai, dan Allah juga menjelaskan tentang tipu daya syaitan. Kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram, namun dalam ajaran orang musyrik Quraisy mereka menyebutnya sebagai sembelihan Allah.
Dalam hadits dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu 'anhu : Orang musyrikin datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Hai Muhammad, ada kambing mati pagi hari, siapa yang membunuhnya ?”, Rasulullah mengatakan: “Allah yang membunuhnya (mematikannya)”, kemudian orang-orang musyrik itu mengatakan:
“Kambing yang kalian sembelih dengan tangan kalian, maka kalian katakan halal, sedangakan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya Yang Mulia kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.
Ini adalah ucapan kaum musyrikin kepada kaum muslimin, Allah katakan bahwa ucapan itu adalah bisikan syaitan terhadap mereka (Dan sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu) untuk mendebat kaum muslimin agar setuju atas penghalalan bangkai, lalu setelah itu Allah peringatkan kepada kaum muslimin jika seandainya menyetujui dan mentaati mereka meski hanya dalam satu hukum atau kasus saja dengan firman-Nya “Maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga mencap bahwa orang yang membuat hukum selain Allah disebut sebagai wali syaitan, dan produk hukum yang buat itu pada hakikatnya adalah hukum syaitan.
6.Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thaghut itu”. (An Nisa : 60)
Orang yang tahakum (merujuk hukum) atau orang yang mengajukan perkaranya kepada thaghut disebut orang yang tidak beriman. Ini berarti orang tersebut telah menanggalkan ketauhidan, dengan kata lain bahwa berhakim kepada thaghut ini adalah bentuk penyekutuan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ketika orang berhakim kepada Allah maka dia telah beribadah kepada Allah. Dan bila orang menjadikan hukum selain hukum Allah atau hukum thaghut sebagai acuan, maka dia telah beribadah kepada selain Allah atau telah beribadah kepada thaghut tersebut.
Perujukan hukum kepada selain hukum Allah itu bertentangan dengan tauhid, dan itu sebagai bentuk kemusyrikan. Karena ketika merujuk kepada hukum itu berarti dia mengikuti hukum tersebut dan dia masuk ke dalam syirik tha’ah (ketaatan), sebagaimana orang Nashrani melakukan syirik karena mereka mengikuti hukum yang dibuat para pendetanya.
Orang ketika bertahakum kepada hukum thaghut dikatakan bahwa keimanannya telah lepas dan hanya sekedar klaim saja. Penyekutuan itu bukan hanya terbatas pada do’a, nadzar, istighatsah, shalat dan lainnya, akan tetapi mencakup berbagai macam bentuk penyekutuan kepada Allah yang di antaranyaadalah mengikuti, tunduk, patuh kepada yang bukan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kemudian dalil-dalil dari As Sunnah:
1.Hadits marfu’ dari Abdullah ibnu Mas’ud radliyallahu’anhu :
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: “Dosa apa yang paling besar?”, Beliau menjawab: “Kamu menjadikan tandingan bagi Allah sedangkan Dia yang telah menciptakan kamu” (HR. Bukhari Muslim)
Jadi, dosa yang paling besar adalah “kamu menjadikan tandingan bagi Allah” dalam arti di sampaing kamu beribadah kepada Allah, kamu juga beribadah kepada yang lainnya.
2.Dari Abu Bakar radliyallahu’anhu:
Kami berkata: “Ya Rasulullah, dan apakah syirik itu adalah apa yang diibadati selain Allah, atau yang diseru bersama Allah?” (Hadits dari Abu Ya’ala, dan ada kelemahan dalam hadits ini)
Dalil-dalil di atas menyebutkan bahwa syirik itu ada dua macam:
yaitu pertama, seperti orang yang tidak beribadah kepada Allah tapi dia hanya beribadah kepada selain Allah, ini seperti para penganut animisme, dinamisme dan yang serupa dengannya dimana mereka hanya menyembah berhala-berhala. Mereka disebut musyrik juga meskipun mereka hanya menyembah kepada selain Allah.
Dan kedua, adalah seperti orang yang beribadah kepada Allah, akan tetapi di samping itu dia juga beribadah kepada selain-Nya.
Di dalam Al Qur’an, larangan syirik itu adalah untuk kedua-duanya dan vonis bagi orang musyik juga diperuntukan bagi kedua-duanya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu menyeru selain Allah yang tidak bisa mendatangkan manfaat dan madlarat buat kamu, jika kamu melakukannya berarti kamu tergolong orang-orang yang dzalim”. (Yunus : 106)
dan firman-Nya dalam surat yang lain :
“Dan barangsiapa menyeru tuhan yang lain bersama Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”. (Al Mukminun : 117)
Maka syirik itu bukan hanya ibadah kepada selain Allah saja, akan tetapi juga beribadah kepada Allah di samping beribadah kepada selain-Nya. Sedangkan kemusyrikan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku muslim adalah macam yang kedua, yaitu di samping dia beribadah kepada Allah dia juga beribadah kepada selain-Nya.
3.Hadits Al Imam Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhu secara mu’alaq:
Allah Subhanahu Wa Ta’ala befirman:
“Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar, dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka”. (Ar Ra’du : 14)
Ibnu ‘Abbas mengatakan : “Perumpamaan orang musyrik, di mana dia ibadah kepada Allah, juga dia beribadah kepada yang lainnya adalah seperti orang haus yang melihat air dikejauhan (dikhayalnya ada air), lalu dia membentangkan tangannya untuk mengambil air tersebut sedangkan dia tidak mampu untuk mendapatkannya”.
Syaikh Muhammad rahimahullah mengatakan:
“Jika amalan kamu seluruhnya untuk Allah maka kamu adalah muwahhid, dan bila di dalamnya ada penyekutuan terhadap makhluk maka kamu adalah orang musyrik”.
Jika seandinya 99% dari semua ibadah itu ditujukan kepada Allah akan tetapi walaupun hanya 1% atau sekian persen ditujukan untuk selain Allah, maka orang itu disebut orang musyrik, karena menduakan atau menyeru yang lain bersama Allah.
Kemudian dalil dari ijma para ulama:
Al Qadli ‘Iyadl, dalam kitab Asy Syifa pada pasal tentang keyakinan-keyakinan atau pernyataan-pernyataan yang merupakan kekafiran, beliau mengatakan bahwa: “Setiap ucapan yang menafikan ke Esaan Allah atau yang terang-terangan beribadah kepada selain Allah atau bersama Allah, maka ia adalah kekafiran dengan ijma kaum muslimin”.
Di sini disebutkan bahwa peribadatan kepada sesuatu di samping ibadah kepada Allah. Dan di sini juga disebutkan kedua macam syirik.
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalam Tarikh Nejed hal 223 mengatakan: “Sesungguhnya syirik itu adalah peribadatan kepada selain Allah, penyembelihan, nadzar untuknya dan menyerunya”. Beliau mengatakan: “Saya tidak mengetahui seorangpun dari kalangan ulama berselisih dalam hal itu”.
Di sini disebutkan bahwa peribadatan kepada selain Allah, membuat tumbal, nadzar, atau menyeru selain-Nya itu adalah kemusyrikan.
Syaikh Ishaq ibnu Abdurrahman rahimahullah dalam risalah Takfir Mu’ayyan mengatakan: “Menyeru ahli kubur, memohon kepada mereka, istighatsah dengan mereka adalah kaum muslimin tidak berselisih di dalamnya, bahkan sesungguhnya hal itu adalah termasuk syirik yang mengkafirkan”
Peribadatan kepada selain Allah, permohonan, meminta, istighatsah atau meminta tolong kepada selain Allah (kepada penghuni kubur) itu adalah termasuk kemusyrikan yang membuat pelakunya kafir, ini kesepakatan kaum muslimin.
Beliau juga menjelaskan bahwa menyeru ahli kubur, meminta kepada mereka, istighatsah dengan mereka adalah bukan termasuk masalah yang dipertentangan bahwa itu bukan termasuk dosa besar biasa yang pelakunya tidak dikafirkan, dan tidak ada pertentangan di antara kaum muslimin di dalamnya, akan tetapi memohon kepada penghuni kubur atau istighatsah kepada mereka itu termasuk kemusyrikan yang mengkafirkan, sebagaimana yang dihikayatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan beliau menjadikannya sebagai sesuatu yang tidak diperselisihkan tentang pengkafiran dengannya.
Syaikh Sulaiman Alu Asy Syaikh dalam kitab Taisir hal 117 mengatakan:
“Para ulama mufasirin sepakat bahwa taat dalam penghalalan apa yang telah Allah haramkan atau taat dalam pengharaman apa yang telah Allah halalkan adalah bentuk ibadah kepada yang menghalalkan atau mengharamkan tersebut, dan itu merupakan syirik dalam ketaatan”
Mengikuti atau tunduk patuh kepada hukum selain hukum Allah itu termasuk syirik tha’ah yang Allah jelaskan dlam surat At Taubah: 31 yang telah lalu. Dan beliau juga menukil ijma bahwa dalam sahnya tauhid ini harus ada kufur terhadap thaghut.
Dalam bab ini dijelaskan dalil dari Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma yang menjelaskan bahwa syirik itu ada syirik yang sifatnya kuburan (menyeru, istighatsah, do’a, atau memohon kepada selain Allah), dan ada yang sifatnya merupakan syirik aturan, hukum, dan perundang-undangan, dan ini bentuknya adalah dengan mengikuti, tunduk dan setuju kepada hukum yang bukan berasal dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan selain itu bentuk syirik juga ada yang murni peribadatan kepada selain Allah dan yang kedua adalah bentuk ibadah kepada Allah namun di samping itu juga beribadah kepada selain-Nya. Sedangkan relita orang musyrik yang mengaku Islam pada realita zaman sekarang, mereka terjatuh ke dalam kemusyrikan yang kedua. Mereka di samping ibadah kepada Allah juga beribadah kepada selain-Nya, dan itu adalah termasuk kemusyrikan dengan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan ijma dari para ulama.
II.Islam Dan Syirik Adalah Dua Hal Yang Kontradiktif
- Tidak Bisa Bersatu-
Dliddan adalah dua hal yang bertentangan yang tidak bisa bersatu dalam satu waktu pada objek yang sama. Dan Naqidlan adalah dua hal yang bersebrangan yang kedua-duanya tidak bisa hilang dan tidak bisa bersatu dalam satu waktu dalam satu objek.
Contoh dliddan : Seperti warna merah dengan warna putih… apabila ada tembok yang bercatkan putih lalu diberi dengan warna merah, maka putih akan hilang. Apabila dicampurkan maka warna putih tidak akan menjadi putih lagi dan warna merah tidak akan berwarna merah lagi, akan tetapi yang ada adalah warna selain warna merah dan putih, menjadi hitam umpamanya. Ini adalah dliddan.
Dan naqidlan adalah seperti siang dan malam, tidak ada siang dan malam berbarengan dalam satu waktu. Jika tidak disebut siang, maka berarti malam atau sebaliknya jika bukan malam berarti siang. Tidak bisa dalam satu waktu disebut siang juga disebut malam, akan tetapi harus ada salah satunya.
Bagitu juga Islam dan Syirik, seseorang tidak mungkin dikatakan muslim sekaligus musyrik juga, atau sebaliknya orang musyrik dikatakan juga muslim. Maksudnya, Islam dan syirik tidak bersatu dalam siri seseorang. Jika syirik ada maka Islamnya hilang, atau jika dia seorang muslim muwahhid maka syiriknya harus tidak ada.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan”. (Yunus : 3)
Jadi, tidak ada perantara di antara keduanya… dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah menunjukan kepad dia jalan yang lurus; bisa jadi dia bersyukur dan bisa jadi dia kufur”. (Al Insan : 3)
Ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir, baik itu bersyukur terhadap nikmat Allah, ataupun kufur terhadapnya. Orang muslim adalah orang yang bersyukur terhadap nikmat Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dia-lah yang menciptakan kalian, maka di antara kalian ada yang kafir dan di antara kalian ada yang mukmin”. (Ath Thagabun : 2)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Oleh sebab itu maka setiap orang yang tidak beribadah kepada Allah maka dia itu mesti ibadah kepada selain Allah yang mana dia ibadah kepada selain-Nya, sehingga dia musyrik. Di tengah Bani Adam ini tidak ada macam yang ketiga, hanya ada muwahhid atau musyrik, atau yang mencampurkan ini dengan yang itu, seperti orang-orang yang merubah ajaran dari kalangan agama-agama yang ada, Nashara dan yang lainnya dari kalangan orang yang mengaku dirinya Islam” (Al Fatawa 14/282,284)
Bila seseorang, dia di samping mengaku Islam namun dia juga seorang demokrat misalnya, maka itu bertentangan, karena jika dia seorang demokrat berarti DIA BUKAN muslim, atau jika dia seorang komunis tapi mengaku Islam maka dia itu bukan orang Islam.
Tidak ada yang namanya seorang muslim yang demokrat atau muslim nasionalis atau muslim komunis !! karena itu seperti seorang muslim yang menganut agama Budha atau Kristen atau agama lainnya.
Syaikh Abdurrahman ibnu Hasan ibnu Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah di dalam Syarh Ashli Dienil Islam dan Syaikh Abdullathif di dalam Minhajut Ta-sis, keduanya menjelaskan:
“Siapa yang melakukan syirik, maka dia telah meninggalkan tauhid, karena keduanya (tauhid dan syirik ini) adalah dua hal yang kontradiksi yang tidak bisa bersatu (pada satu waktu dalam satu objek) dan tidak bisa kedua-duanya hilang (dalam satu waktu dari objek itu)”.
Seseorang tidak bisa dikatakan dia itu muwahhid juga sekaligus musyrik… tapi yang ada adalah jika dia bukan musyrik maka dia seorang muslim muwahhid, dan sebaliknya jika dia bukan seorang muwahhid maka dia adalah orang musyrik. Tidak bisa kedua-duanya hilang dari orang tersebut dan tidak bisa kedua-duanya menyatu dalam diri orang tersebut pada waktu yang bersamaan.
Ini adalah hakikat tauhid dan hakikat syirik, di mana kedua-duanya adalah Dliddan, yaitu dua hal yang bertentangan yang tidak bisa bersatu dalam satu waktu pada objek yang sama. Dan Naqidlan, yaitu dua hal yang bersebrangan yang kedua-duanya tidak bisa hilang dan tidak bisa bersatu dalam satu waktu dalam satu objek.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat serta para pengikutnya sampai hari kiamat. Alhamdulillaahirrabbil ’aalamiin…
Langganan:
Postingan (Atom)