Jumat, 08 Oktober 2010
Akar Terorisme di Indonesia
Masalah terorisme selalu menjadi perhatian publik di Indonesia. Beragam pendapat diutarakan, beragam solusi diusulkan, namun sangat jarang yang melihat akar persoalannya.
Presiden SBY, diamini para pembantunya, berusaha meyakinkan bahwa akar terorisme adalah kemiskinan dan kebodohan. Sebuah analisis yang kurang cerdas mengingat beberapa orang yang dituduh teroris justru bukan orang bodoh dan miskin.
Dr. Azahari misalnya, seorang doktor dan dosen universitas ternama. Jelas dia tidak bodoh, tidak juga miskin atau pengangguran tanpa kerjaan. Di level dunia, tertuduh gembong teroris adalah Usamah bin Ladin, seorang lulusan univertas dan pengusaha konstruksi terkemuka di Timur Tengah. Wakil Usamah adalah dr. Ayman Azh Zhawahiri, seorang dokter spesialis bedah. Bodoh sekali orang yang menganggap Ayman miskin dan bodoh.
Dari beberapa contoh tadi, jelas analisis tersebut kurang valid, kalau tidak bisa dibilang ngawur. Mungkin juga yang ngawur bukan SBY, melainkan para pembantu dan pembisiknya.
Di sisi lain, kelompok liberal dan sekuler melihat bahwa penyebabnya adalah ajaran agama Islam. Ayat-ayat dan hadits yang mendorong perilaku radikal dituding jadi kambing hitam. Ini sejalan dengan upaya Amerika untuk menghilangkan poin-poin syariat Islam tentang jihad fi sabilillah yang dianggap sebagai biang ideologi terorisme. Di Timur Tengah, misalnya, mereka mengedarkan Furqanul Haq. Sebuah versi Al-Quran edisi minus ayat-ayat jihad.
Padahal, tak hanya Islam, agama lain juga memiliki konsep “jihad.” Lihat saja Kristen, apa yang membuat mereka bisa melancarkan Perang Salib selama beberapa abad kalau bukan konsep mereka tentang Holy War?
Maka pandangan kelompok liberal dan sekuler ini tidak fair. Mereka ingin dunia damai dan aman dari terorisme, tetapi kuncinya dengan mengebiri semangat perlawanan umat Islam pada penindasan dan penjajahan. Maklum saja, majikan mereka, bangsa-bangsa penjajah Barat, sangat khawatir menghadapi perlawanan jihad Muslim.
Pada masa lalu, Inggris menciptakan sekte sesat bernama Ahmadiyah di India yang sedang dijajahnya. Pemimpinnya, Mirza Ghulam Ahmad, mengharamkan jihad melawan Inggris. Ia juga membanggakan Inggris sebagai tuan besar yang wajib ditaati. Yang lebih gila, ia mengaku nabi dan mengkafirkan orang Islam yang tak percaya pada kenabiannya.
Sangat jelas bahwa Inggris ingin melemahkan semangat jihad Islam agar bisa leluasa menjajah India. Menguasai dan menguras potensi alamnya. Sebuah metode menetralisir musuh agar tak terus melawan.
Padahal melawan penindasan, perang dan militer adalah hal yang manusiawi. Manusia pasti ingin survive. Manusia pasti ingin melawan jika ditindas dan diperlakukan tak adil. Apapun agamanya, apapun rasnya. Bahkan semut pun menggigit jika manusia merusak sarangnya.
Terorisme yang dituduhkan kepada sekelompok umat Islam yang berjihad sebenarnya adalah upaya perlawanan. Sudah terlalu lama umat Islam dijajah, ditindas dan dikuras kekayaannya. Sudah terlalu banyak darah tertumpah oleh bangsa-bangsa penjajah Barat yang kafir.
“Teroris” menyerang sasaran sipil karena Inggris, Amerika dan penjajah lain tak segan membantai Muslim sipil. “Teroris” meledakkan bom karena negeri-negeri Muslim yang dijajah diratakan dengan rudal dan roket. “Teroris” merampok musuhnya karena kekayaan alam negeri mereka dikuras para penjajah dengan bantuan boneka lokal yang setia pada tuannya.
Akar persoalan teroris, jika mau jujur, sebenarnya adalah upaya menuntut keadilan. Rangkaian bom Natal dan bom Bali terjadi karena dipicu serangan Kristen pada Muslim di Ambon. Muslim dizhalimi tetapi tak ada pembelaan memadai dari aparat keamanan. Pada titik ini pembalasan menjadi pilihan.
Bahkan jika ditarik lebih jauh, munculnya Darul Islam (DI/TII) pada 1949 pun merupakan reaksi Muslim pada ketidakadilan. Awalnya Muslim dan Kristen sudah sepakat dalam perumusan UUD 1945. Panitia Sembilan menyepakati Piagam Jakarta yang menjamin berlakunya syariat Islam bagi Muslim dengan rumusan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.
Baru sehari merdeka, kesepakatan itu dikhianati, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur mengancam akan keluar dari NKRI. Melalui seorang perwira Jepang, tokoh itu menekan Soekarno dan Hatta agar menghapus kewajiban menjalankan syariat Islam dari Konstitusi. Inilah benih separatisme pertama dalam sejarah Indonesia, mengancam memisahkan diri dari republik karena dengki pada umat lain yang ingin menjalankan syariatnya.
Akibatnya terjadilah kezhaliman hukum. Umat Islam mayoritas tetapi dihalangi menjalankan hukum syariatnya. Mereka dipaksa tunduk pada hukum Kristen dan sekuler warisan Belanda. Apalagi diplomasi Soekarno waktu itu begitu mengalah pada Belanda, perundingan Rennville membuat Jawa Barat dikosongkan. Wilayah dan penduduknya yang Muslim seolah diserahkan pada Belanda.
Inilah yang memicu Darul Islam berdiri. Ketidakadilan persoalan hukum dan ketidakpuasan karena diserahkan pada Belanda. Ini juga akar semua perlawanan Islam di Indonesia. Sebenarnya mereka hanya menuntut satu hal saja, bisa menegakkan syariat Islam untuk dirinya sendiri.
Namun keinginan itu selalu dihalang-halangi. Para aktornya pun selalu itu-itu saja. Piagam Jakarta dijegal berkat tekanan seorang tokoh Kristen. Renville ditandatangi PM Amir Syarifudin yang Kristen. Komji hingga Tanjung Priok didalangi oleh Benny Moerdani.
Terakhir, konspirasi itu semakin telanjang. Muslim di Kalimantan dibantai oleh Dayak Kristen, berlanjut ke Ambon dan Poso. Kasus di Poso bahkan menunjukkan adanya kerjasama Protestan dan Katholik. Fabianus Tibo cs yang Katholik memimpin serangan awal kepada Muslim. Belakangan mereka merasa diumpankan oleh kelompok Protestan.
Kemudian, Muslim bereaksi dan melawan. Mereka berhasil membalas dan menghentikan kezhaliman Kristen. Tetapi mereka yang melawan kemucian diberi cap teroris dan disikat tanpa ampun dengan Densus 88. Unit khusus yang dibiayai Amerika dan Australia.
Unit itu jelas sekali diproyeksikan untuk memusuhi Muslim. Mereka dipuji-puji ketika menangkap, menyiksa dan membunuh Muslim. Namun ketika mereka menangkap aktivis RMS, Australia mengancam akan menyelidiki kasus itu sebagai “pelanggaran HAM.”
Kini Densus 88 diotaki oleh Gorries Mere. Secara resmi komandannya Tito Karnavian. Namun insiden ributnya Densus di Polonia dengan Provost AU membuktikan hal lain. Gorries memimpin langsung di lapangan meskipun ia sebenarnya bertugas di Badan Narkotika Nasional (BNN).
Semua rangkaian di atas membuktikan satu hal: semua kezhaliman yang menimpa umat Islam di Indonesia dan seluruh dunia merupakan buah konspirasi penjajah Barat yang Kristen dengan boneka lokalnya. Sementara semua aksi perlawanan, yang dicap terorisme, adalah reaksi terhadap kezhaliman tersebut. Inilah akar terorisme yang sebenarnya.
Sumber: Majalah AnNajah Solo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar