oleh : admin (abu bilal al irhaby & abu icanimovic)
Suatu hari ana bertemu Ust.AK dalam sebuah pertemuan. Kemudian beliau memberikan ana sebuah buku karangan Dr. Mahmud Abdul Karim Hasan (seorang cendikiawan dari HT Internasional) untuk dijadikan bahan masukan terutama untuk kawan-kawan sesama harokah yang peduli terhadap perjuangan Syariat Islam.
Langsung saja ana lahap lembar demi lembar buku tsb, dan beberapa hari setelahnya ana berikan buku tersebut ke kawan ana (abu bilal) untuk bersama kami kaji dan diberikan komentar. Tentunya komentar yg akan kami buat adalah komentar yang membangun, bukan komentar yang menjatuhkan sesama umat. Dan berikut adalah hasilnya :
Catatan terhadap Buku “Metode Perubahan Sosial Politik”
Di sini kami hanya ingin memfokuskan pembicaraan pada bagian akhir buku ini, yang menurut penulisnya sendiri merupakan pembahasan yang paling penting, paling serius dan paling mendalam. Setidaknya ada tiga hal yang menarik perhatian kami. Pertama istilah “tholabun nushroh” (meminta pertolongan kepada golongan yang kuat) sendiri, terutama pengaplikasiannya pada realitas umat hari ini yang sebenarnya mayoritas dari segi jumlah tapi minoritas dari segi kualitas. Kedua dari sisi fakta yang dikemukakan, terutama berkenaan dengan jihad Afghanistan yang sesungguhnya berjasa menghidupkan kembali semangat jihad umat Islam, sekaligus menumbuhkan keyakinan umat bahwa mereka mampu menumbangkan raksasa thogut di bumi ini, yakni Uni Sovyet dan Insya Alloh menyusul AS dan Zionis Yahudi (hal 140). Ketiga, membicarakan point kedua ini, maka mengharuskan kami mengomentari kritik penulis terhadap pengemban dakwah yang memilih jalur kekuatan fisik untuk menghadapi kekuatan batil, yang penulis sebut dengan metode kedua (hal 142).
Untuk mewujudkan daulah Islamiyah yang akan melindungi umat di bawah payung syariat Islam, penulis menawarkan satu-satunya metode perubahan (taghyir) yang praktis dan syar’i, yaitu tholabun nushroh. Penulis menafikan jalan lain yang menghantarkan tegaknya daulah Islam, kecuali cara ini.
“...metode ini merupakan satu-satunya solusi yang realistis dan praktis, dan ini merupakan metode satu-satunya yang efektif dan menghantarkan pada tujuan,” tegas penulis. Metode ini, menurut penulis, ringkasnya adalah mengubah kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat atau sebagian masyarakat untuk menjadi pilar penopang dakwah kebenaran, menggantikan statusnya sebagai pilar penopang kebatilan dan sistemnya (hal 147). Perubahan ini dilakukan melalui pertarungan pemikiran dan perjuangan politik (shiraul fikri wa kifahus siyasi).
Penulis lalu mengutip beberapa riwayat awal dakwah Rasululloh di Mekkah yang mengalami tantangan hebat dari pemuka Quraisy, dan hanya diterima sebagian kecil manusia – itupun dari kalangan rakyat jelata. Setelah berdakwah beberapa waktu di Mekkah, Rasul mulai mengarahkan dakwahnya kepada kabilah-kabilah di luar Mekkah, yang mau menerima sekaligus menjadi pelindung dakwah. Pada permulaan dakwah ini Rasul sama sekali tidak menggunakan kekuatan fisik sama sekali, melainkan fokus – menurut istilah penulis -- pada pertarungan pemikiran dan perjuangan politik. Awal perkembangan Dinul Islam ini dikenal dengan istilah fase Makkiyah.
Menariknya, bukan hanya penulis, sebagian besar jamaah dan harokah memandang fase ini merupakan refleksi umat Islam dewasa ini. Tentu saja pandangan ini mewarnai solusi yang mereka tawarkan. Jamaah salafy misalnya berpendapat bahwa umat dewasa ini dalam keadaan lemah, bodoh dan berkubang dalam perbuatan bid’ah dan kemusyrikan. Mereka meresepkan tashfiyah dan tarbiyah untuk mengobatinya, bukan yang lain. Jika ada yang mengambil penawar yang lain, cepat-cepat mereka bombardir dengan sebutan ahlul bid’ah, ruwaibidhoh, khoriji dan sebutan tak sedap lainnya.
Ada pula yang menyibukkan dengan berbagai ritual dzikir dan perayaan maulid, dengan dalih sebagai wujud cinta kepada Rasul. Jangan coba-coba mengkritik. Tuduhan wahabi sebagai balasannya. Lucunya sebagai apologi mereka sering membawa-bawa nama Sholahuddin sebagai pencetus maulid, yang karena perayaan inilah umat di masa itu berhasil dihasung untuk berjihad, sehingga kekuatan salibis berhasil diporak-porandakan.
Ada lagi sekelompok pengemban dakwah yang berijtihad, untuk menegakkan syariat Islam mereka harus mengarungi lautan demokrasi. Akibatnya mereka tenggelam dalam kesyirikan, tidak timbul-timbul lagi.
Yang paling menyedihkan, tampil sekelompok pecundang penderita skizofrenia dan inferiority complex yang menyusu dan dibesarkan oleh para orientalis.
Merekalah para munafikin liberalis, yang dengan topeng muslim modernis berhasil mengelabui umat dan bekerja untuk kepentingan induknya, para salibis dan zionis. Menurut para pecundang itu, umat tak akan bisa maju kecuali meniru barat dengan mencampakkan Islam, sebagaimana barat mencampakkan agamanya. Itulah potret sebagian jamaah dan harokah dalam melihat kondisi umat dewasa ini.
Berkenaan dengan tholabun nushroh sebagai solusi, sebenarnya kami bisa menerima, meski tidak sepenuhnya seperti yang dimaksud penulis. Sebab para pengemban dakwah tidak hanya memerlukan penopang, tapi juga pelindung dan penerus agar dakwah dapat berkesinambungan, sehingga kebatilan dapat dikalahkan dan dinul Islam tetap eksis. Dukungan itu diharapkan, tidak lain, datang dari elemen yang ada di tubuh umat Islam sendiri. Tapi kritik kami kepada penulis, karena beliau membatasi hanya pada pertarungan pemikiran dan perjuangan politik sebagai solusi kebangkitan umat, dan menyebutnya sebagai satu-satunya metode (thoriqoh) nabi.
Kesalahan ini, menurut kami, berangkat dari anggapan bahwa umat dewasa ini seperti pada fase Mekkah, yakni dalam kondisi tidak berdaya sementara musuh unggul dari banyak segi : sumber daya, sarana, teknologi dan senjata. Sehingga apapun upaya untuk menumbangkan kebatilan dengan kekuatan fisik dan senjata, di mata penulis, sebagai metode ilusi dan tidak mungkin (hal 142). Benarkah anggapan ini?
Sebelum kami membicarakan hal ini lebih lanjut, kami ingin mengutip hasil diagnosis “dokter” umat ini tentang penyakit mereka di akhir zaman, yang sudah disampaikan 15 abad lampau.
Dari Tsauban bahwasanya Rasululloh sholollohu alaihi wassalam bersabda : “Hampir saja umat-umat mengerubuti kalian dari segala penjuru sebagaimana orang mengerubuti makanan di nampan.” Kami bertanya: “Apakah karena jumlah kami sedikit waktu itu wahai Rasululloh?” Beliau menjawab, “Bahkan kalian pada saat itu banyak. Tapi kalian laksana buih. Rasa takut terhadap kalian akan dicabut dari hati musuh-musuh kalian dan dijadikan penyakit wahn dalam hati kalian.” Shahabat bertanya: “Apakah wahn itu wahai Rasululloh?” Beliau bersabda: “Cinta dunia dan benci mati.” (HR Ahmad dan Abu Dawud) Dalam riwayat lain : “Cinta dunia dan benci peperangan.”
Lihatlah saudaraku, umat Islam dewasa ini lemah bukan karena sedikitnya bilangan mereka seperti masa awal Islam. Jumlah mereka banyak tapi tak membuat gentar. Semua itu karena kecintaan mereka kepada dunia dan bencinya mereka kepada jihad fi sabilillah, sebagaimana lebih jelas dalam hadits berikut.
Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasululloh bersabda: “Jika kalian mulai berjual-beli dengan inah, kalian mengambil ekor-ekor sapi, dan kalian ridho dengan cocok tanam serta kalian tinggalkan jihad, Allah akan timpakan kehinaan atas kalian. Ia tidak akan mencabutnya dari kalian, sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Dawud)
Faidah lain dari hadits sebelumnya adalah jumlah umat Islam banyak tapi tak bersatu, bak buih di lautan. Ciri mereka sebagai orang mukmin hilang, yakni persatuan dan persaudaraan. Bukankah Rasululloh telah mengingatkan, “Orang mukmin dengan mukmin lainnya seperti sebuah bangunan. Satu dengan yang lainnya saling menguatkan,” Beliau lalu menganyam jari-jemarinya. (HR Muttafaq alaih dari Abu Musa)
Jika pada masa awal Rasululloh melakukan tholabun nushroh dengan mencari dukungan di luar suku Quraisy, karena sedikitnya pengikut beliau dan lemahnya kondisi mereka. Hari ini umat Islam sangat banyak, tapi imannya lemah karena kecintaan mereka pada dunia, saling berpecah belah dan bencinya mereka pada kewajiban jihad, maka tholabun nushroh yang realistis dan sesuai hadits di atas adalah dengan menghasung umat dan mengkondisikanya untuk berjihad mengangkat senjata.
Tentu saja tanpa mengabaikan upaya lainnya mengingat musuh dewasa ini telah memperlebar medan peperangan, termasuk ke dalamnya perang ideologi, ekonomi dan pemikiran. Namun perang dalam makna qital (adu fisik) harus mendapat porsi lebih. Karena hanya cara inilah yang telah membuat gentar pengusung kebatilan selama berabad-abad. Sebaliknya meninggalkan cara ini membuat kita dicabik-cabik. Bukankah Granada jatuh dan Andalusia ditangisi, di saat mereka disebut-sebut sebagai mercusuar pengetahuan di Eropa, akibat mereka melalaikan membangun kekuatan militernya? Bukankah Palestina berhasil dicaplok Zionis Yahudi akibat kita tidak bersatu lantaran syubhat nasionalisme? Tak heran negara-negara muslim menganggap permasalahan Palestina merupakan permasalahan dalam negeri rakyat Palestina bukan permasalahan bersama. Begitu juga permasalahan yang terjadi pada berbagai negeri Muslim yang lain.
Sekarang lihat bagaimana raksasa thogut dan pentolan kekafiran pada beberapa waktu yang lalu, yakni Uni Sovyet tumbang di Afghanistan. Bukankah itu karena buah jihad dan bersatunya mujahid dari seluruh dunia, meski berusaha dikaburkan dedengkot kekafiran – koalisi salibis AS dan Zionis Yahudi --dan antek-anteknya hari ini. Mereka menghembuskan isu : mujahidin bisa menghancurkan Uni Sovyet karena bantuan persenjataan dan informasi dari intelejen mereka. Bahkan untuk menguatkan isu itu mereka membuat cerita rekaan RAMBO yang diedarkan di negeri-negeri Islam. Tujuannya jelas untuk menciptakan imej bahwa umat Islam itu lemah, tanpa bantuan mereka, umat Islam tak bisa berbuat apa-apa. Sayang, isu murahan ini bukan hanya ditelan orang awam, tapi juga tertelan para pengemban dakwah seperti penulis buku ini, dan tak menutup kemungkinan sebagian jamaah dan harokah lain.
Faktanya, mujahidin benar-benar hanya mengandalkan – setelah pertolongan Allah – kemampuan mereka sendiri. Syekh Abu Mus’ab As Suri, seorang mujahid asal Suriah dan merupakan seorang saksi sejarah pada perang tersebut, dalam bukunya “Da’watul muqowwamah” yang diterjemahkan menjadi “Perjalanan Gerakan Jihad” menceritakan bagaimana mujahidin tidak menggunakan sepucuk pun senjata anti pesawat buatan AS yang diselundupkan lewat Pakistan. Bahkan Syekh Abdullah Azzam, seorang tokoh mujahid yang berhasil menghasung umat untuk menapaki kembali jalan Jihad, dalam berbagai bukunya mengungkap maksud busuk ini. Beliau menceritakan bagaimana Amerika berkali-kali berusaha ingin menemui wakil mujahidin, namun selalu ditolak. Bahkan AS menggunakan tipu daya licik dengan memerintah PBB untuk mengundang mereka. Dan akhirnya dengan tipu daya tersebut delegasi mujahidin Afghanistan mau berangkat ke markas PBB di New York. Delegasi itu dipimpin oleh Hekmatyar.
Presiden AS ketika itu, Reagen sudah memasang perangkap untuk menjaring delegasi mujahidin ke pihaknya. Ia mengundang mereka ke Gedung Putih supaya terlihat oleh dunia bahwa perang Jihad di Afghanistan itu memang buatan dan mendapat bantuan Amerika. Tapi tipu daya itu sia-sia. Mujahidin menolak menemuinya pada 30 Oktober 1985 dan langsung pulang kembali dengan selamat di Afghanistan.
Dunia digegerkan dengan pernyataan Hekmatyar yang menyatakan dengan tegas dalam konfrensi pers di AS bahwa mujahidin tidak pernah menerima bantuan dari AS dan tidak mempunyai hubungan apapun. “Kami menyatakan ini karena mass media Amerika pagi dan petang selalu menyatakan bahwa kaum mujahidin Afghanistan telah menerima sumbangan sebesar 250 juta dollar...” kata Hekmatyar seperti dikutip Syekh Abdullah Azzam dalam salah satu bukunya “Ibarun wa Bashoirun lil Jihadi fil Ashril Haadhiri” cetakan Maktabah al Manar Yordania. Bahkan peran Syekh Abdullah Azzam ini tak luput dari fitnah para pendengki itu. Beliau dituduh sebagai antek barat dan agen CIA. Ini diceritakan Syekh Abdul Mun’im Mushthofa Halimah (Abu Bashir) dalam buku beliau “Ath Thoriq ila Isti’naf Hayat Islamiyah” yang diterjemahkan “Tiada Khilafah tanpa Tauhid dan Jihad”.
Hal yang sama juga dilakukan AS hari ini. Bedanya hari ini ia berhasil meraih dukungan antek-anteknya, para penguasa yang memerintah negeri-negeri kaum Muslimin. Dan relatif berhasil menanam benih syubhat dalam benak kebanyakan kaum Muslimin. Namun satu hal yang pasti, dan tidak bisa ditutup-tutupi, ketakutan mereka yang sangat terhadap bangkitnya generasi mujahid di seluruh dunia. Di antara buktinya adalah fokusnya mereka di Afghanistan, sebuah negeri yang berhasil menumbangkan raksasa thogut sebelumnya, yang kini bercerai berai.
Kesimpulannya, metode perubahan sosial politik dengan thoriqoh jihad wal qital bukanlah sebuah metode ilusi. Ia merupakan metode yang mujarab.
Hanya saja ia masih menyisakan sebuah pertanyaan : mengapa buah jihad di Afghanistan tempo hari (saat melawan Soviet) tidak bisa dinikmati kaum Muslimin keseluruhan? Inilah yang harus dipikirkan bersama.
-Wassalamu'alaikum-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar